Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bahan Khotbah Kristen: Injil Bagi Orang Yang Bermuka Dua

Persoalan “menjaga muka” (face-saving) sering kali menjadi faktor yang membuat kita tidak efektif dalam melayani Kristus, khusunya bagi kita yang hidup di Indonesia. Menjaga muka ini bisa dikatakan sebagai seorang yang bermuka dua. Dalam Alkitab sendiri untuk “bermuka dua” sama dengan seorang yang “munafik”, di mana kata “munafik” itu diambil dari kata ὑπόκρισις (hupokrisis) yang secara literal berarti “menjawab dari balik topeng”. Kata ini dipakai dalam drama di Romawi dan Yunani Kuno untuk menunjuk orang-orang yang memakai topeng. Sebutan tersebut dalam dunia drama bukan hal yang negatif. Tetapi dalam dunia nyata kata itu menunjuk kepada tingkah laku negatif, yaitu orang-orang yang bermuka dua. Jadi, seorang munafik adalah seorang yang memakai topeng untuk menutupi diri yang sebenarnya. Orang munafik ini antonym dari orang jujur. Ini disebut sebagai orang yang berpura-pura, penipu atau pembohong. 

Oleh sebab itu, kita akan melihat dan mempelajari bersama Matius 27:45-46, guna melihat makna teologis dan aplikasi praktis bagi kehidupan kita bersama:

45 Mulai dari jam dua belas kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga. 46 Kira-kira jam tiga berserulah Yesus dengan suara nyaring: "Eli, Eli, lama sabakhtani?" Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? 

Ayat yang telah kita baca merupakan bagian dari rangkaian perkataan Kristus di atas kayu salib. Dan Matius menggambarkan arti salib dengan lebih kuat. 

Ketika Yesus lahir, langit malam di sekitar Betlehem dipenuhi dengan cahaya supranatural saat “kemuliaan Tuhan bersinar meliputi” para gembala di ladang (Lukas 2:9). Yohanes berbicara tentang Yesus sebagai “terang manusia” dan “terang sejati yang datang ke dunia, menerangi setiap orang” (Yohanes 1:4, 9). Yesus berbicara tentang diri-Nya sebagai “terang dunia” (Yohanes 8:12; bdk. 12:35-36).

Tetapi tanda ajaib pertama yang menyertai kematian Yesus bukanlah terang yang mulia, melainkan kegelapan yang menakutkan. Pada saat matahari berada di puncaknya, kegelapan supranatural menyelimuti seluruh daerah itu hingga jam tiga sore. Dalam terjemahan aslinya kata “daerah” ini bisa memiliki pengertian yang lebih luas yakni seluruh bumi atau dunia. Beberapa laporan menarik dalam literatur di luar Alkitab menunjukkan bahwa kegelapan pada penyaliban Yesus terjadi di seluruh dunia. Sejarawan Romawi juga menyebutkan kegelapan pekat terjadi di seluruh dunia pada saat penyaliban Kristus. Ini bukan fenomena gerhana matahari, sebab gerhana matahari tidak mungkin terjadi selama 3 jam, dan menurut ahli astronomi matahari dan bulan terpisah jauh pada hari itu. 

Memang tujuan dari Allah membuat kegelapan tidak dijelaskan dalam injil, tetapi menurut Talmud Babilonia, banyak rabi telah mengajarkan bahwa penggelapan matahari adalah penghakiman Allah atas dunia dan atas dosa yang luar biasa keji di hadapan Allah. Dalam banyak ayat di Perjanjian Lama, Allah menggambarkan penghakiman-Nya dengan tanda kegelapan. ITB  Isaiah 5:30 Pada hari itu mereka akan diliputi oleh suara seperti suara laut menderu. Jika orang memandang ke bumi, sesungguhnya, ada gelap yang menyesakkan, dan terang menjadi gelap oleh awan-awan!. Yoel juga menggambarkan tentang hari Tuhan, di mana “hari yang gelap dan kelam, hari yang berawan dan gelap gulita” (Yoel 2:2). Amos bertanya secara retoris, “Bukankah hari Tuhan akan menjadi gelap menggantikan terang, bahkan kelam tanpa cahaya di dalamnya?” (Amos 5:20). Selain itu, Zefanya juga menuliskan bahwa 14 Sudah dekat hari TUHAN yang hebat itu, sudah dekat dan datang dengan cepat sekali! Dengar, hari TUHAN pahit, pahlawanpun akan menangis. 15 Hari kegemasan hari itu, hari kesusahan dan kesulitan, hari kemusnahan dan pemusnahan, hari kegelapan dan kesuraman, hari berawan dan kelam,” (Zeph. 1:14-15).

Perjanjian Baru juga menyatakan bahwa: “4 Sebab jikalau Allah tidak menyayangkan malaikat-malaikat yang berbuat dosa tetapi melemparkan mereka ke dalam neraka dan dengan demikian menyerahkannya ke dalam gua-gua yang gelap untuk menyimpan mereka sampai hari penghakiman;” (2 Pet. 2:4 ITB). ). Yesus sendiri sering berbicara tentang penghakiman ilahi dalam istilah “kegelapan yang paling gelap,” di mana “akan ada tangisan dan kertakan gigi” (Mat. 8:12; 22:13; 25:30). 

Melaui Salib, Allah memberikan pelajaran besar kepada dunia tentang dosa terbesar yang pernah dilakukan oleh umat manusia yang jatuh. Salib adalah tempat penghakiman ilahi yang luar biasa, di mana dosa-dosa dunia dicurahkan kepada Anak yang sempurna, yang tidak berdosa. Yesaya mengatakan: “..sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya...” (Yes. 53:3-5). Yesus “telah diserahkan karena pelanggaran kita” (Rm. 4:25) dan “telah mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci” (1 Kor. 15:3). Dia “yang tidak mengenal dosa [menjadi] dosa demi kita” (2 Kor. 5:21) dan menjadi “kutukan bagi kita” (Gal. 3:13). “Ia sendiri memikul dosa-dosa kita di dalam tubuh-Nya di kayu salib” (1 Ptr. 2:24), “mati untuk dosa sekali untuk selama-lamanya, orang benar untuk orang yang tidak benar” (1 Ptr. 3:18), dan menjadi “pendamaian”. karena dosa-dosa kita” (1 Yohanes 4:10). Oleh karena itu, sudah sepantasnya kegelapan supranatural yang besar mengungkapkan reaksi Allah terhadap dosa dalam tindakan penghakiman itu. Kristus menggeliat dalam kesedihan bukan karena luka di punggung-Nya atau duri yang masih menusuk kepala-Nya atau paku yang menahan-Nya di kayu salib tetapi karena kehilangan persekutuan yang sangat menyakitkan dengan Bapa surgawi-Nya yang diakibatkan oleh dosa-Nya bagi kita. Keterpisahan-Nya dengan Bapa-Nya untuk pertama kalinya dan satu-satunya dalam kekekalan, membuat Yesus menangis dan mengalami duka yang mendalam. Bahkan Bapa memalingkan muka-Nya terhadap Anak. 

Apa implikasinya bagi kita? Alkitab mengajarkan bahwa mendapatkan muka Allah adalah berkat tertinggi bagi setiap orang percaya. Itulah sebabnya Allah menyuruh Musa untuk memberkati bangsa Israel dengan berkata: “Tuhan menghadapkan wajah-Nya kepada-Mu” (Bil. 6:24-26). Yesus merasakan kehilangan muka Allah agar kita di dalam Yesus selalu mendapatkan wajah Allah.

Karena Bapa memalingkan muka-Nya dari Yesus di atas kayu salib, kita tidak perlu lagi bermuka dua, cari muka atau kehilangan muka. Di dalam Yesus, kita selalu memiliki muka Allah yang jauh lebih signifikan daripada muka kita, muka sahabat/kolega atau bos di kantor kita, muka mertua kita, muka pendeta atau jemaat yang sedang kita layani, muka followers kita di instagram (tiktok, twitter, facebook dsb) atau muka siapapun yang ada di seantero dunia ini. Jadi untuk apa lagi kita bersusah payah dan berpeluh kesah hidup bermuka dua, cari muka, atau terlalu kuatir kehilangan muka?

Seringkali kita bermuka dua atau mencari muka dengan orang lain, karena kita ingin terlihat baik dihadapan semua orang, sehingga banyak orang memberikan penilaian/kesan yang baik tentang diri kita. Misalnya, sebagai orang tua di rumah, kita menampilkan sikap tegas, disiplin, otoriter bahkan kita sering main pukul dan memaki orag-orang yang ada dalam satu rumah, entah itu anak, istri atau mertua dsb. Namun, sebagai majelis gereja, aktifis gereja dan pelayan Tuhan di gereja, kita menunjukkan sikap yang rendah hati, ringan tangan, lemah lembut, penuh pengertian dsb. Dua sifat/karekter yang berbeda dalam satu pribadi. Pertanyaan untuk kita semua. Mengapa bisa bermuka dua? Kemungkinan di rumah, kita ingin dihormati dan ditaati oleh seluruh anggota di rumah, sehingga tidak ada yang berani membantah setiap kepuusan yang diambil. Sementara di gereja, kita ingin orang lain melihat kita sebagai orang dewasa rohani dan panutan jemaat, sehingga kita memperoleh pujian, sanjungan dan tepuk tangan dari banyak orang.

Gambaran kisah di atas, mungkin seringkali kita alami dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kita takut kehilangan muka, karena kita mementingkan rasa hormat dan segan dari seluruh anggota yang berada di rumah kita. Di waktu yang sama, kita juga takut kehilangan pujian dan perhatian dari anggota jemaat di gereja. Opini dan persepsi mereka menjadi begitu amat sangat penting bagi kita, sehingga membuat kita semakin percaya diri saat dipuji dan semakin terpuruk saat menerima kritikan pedas.

Tanpa sadar, kita sebenarnya sedang memberikan kepada orang lain hak untuk menentukan level sukacita/kebahagiann kita. Tentu hidup kita akan dipenuhi dengan kekecewaan dan kekhawatiran, bukan kebahagian, karena opini dan persepsi manusia itu sangat labil, sangat mudah berubah seperti arah angina yang bertiup.

Kalau di dalam Yesus kita memiliki muka Allah, kita tidak akan lagi terlalu ambil pusing dengan opini dan persepsi orang lain terhadap kita. Karena opini dan persepsi Tuhan Yesus Kristus adalah yang terpenting dalam hidup kita. Kristus telah sepenuhnya dan selamaya menerima kita dengan mati tersalib pada saat kita masih lemah, pemberontak, durhaka dan ketika kita masih terjerat di dalam kuasa dosa (Rm. 5:6-8).

Bukan berarti kita tidak lagi peduli terhadap opini orang lain, tetapi hidup kita tidak lagi dikontrol oleh opini mereka terhadap kita. Hanya apabila fokus kita tidak lagi pada menyenangkan orang lain, maka kita baru bisa sungguh-sungguh melayani mereka dengan tulus tanpa pamrih. Seorang people-pleaser tidak akan pernah bisa sungguh-sungguh menjadi people-lover. Karena selalu ada udang dibalik rempeyek. 

Semakin kita paham akan kebenaran Injil, semakin kita rindu untuk memahami orang-orang di sekitar kita lebih baik lagi, agar kita dapat melayani mereka lebih efektif. Karena Injil, opini orang lain tidak penting. Tetapi demi Injil, opini orang lain menjadi sangat penting.

Tanda kita memahami Injil adalah kita dipenuhi kerinduan menyatakan muka Allah kepada dunia yang sedang berpaling dari-Nya dan melakukan itu tanpa takut lagi kehilangan muka atau dengan bermuka dua. Kapan terakhir kali kita merasa telah bermuka dua, mencoba cari muka, atau takut kehilangan muka??


Posting Komentar untuk "Bahan Khotbah Kristen: Injil Bagi Orang Yang Bermuka Dua "