Keluarga Kristen | Berkat atas Rumah Tangga (Mzm. 128)
A. Teks Mazmur 128
WTT Psalm 128:1 שִׁ֗יר הַֽמַּ֫עֲל֥וֹת אַ֭שְׁרֵי כָּל־יְרֵ֣א יְהוָ֑ה הַ֜הֹלֵ֗ךְ בִּדְרָכָֽיו׃
2 יְגִ֣יעַ כַּ֭פֶּיךָ כִּ֣י תֹאכֵ֑ל אַ֜שְׁרֶ֗יךָ וְט֣וֹב לָֽךְ׃
3 אֶשְׁתְּךָ֤׀ כְּגֶ֥פֶן פֹּרִיָּה֘ בְּיַרְכְּתֵ֪י בֵ֫יתֶ֥ךָ בָּ֭נֶיךָ כִּשְׁתִלֵ֣י זֵיתִ֑ים סָ֜בִ֗יב לְשֻׁלְחָנֶֽךָ׃
4 הִנֵּ֣ה כִי־כֵ֭ן יְבֹ֥רַךְ גָּ֗בֶר יְרֵ֣א יְהוָֽה׃
5יְבָרֶכְךָ֥ יְהוָ֗ה מִצִּ֫יּ֥וֹן וּ֭רְאֵה בְּט֣וּב יְרוּשָׁלִָ֑ם כֹּ֜֗ל יְמֵ֣י חַיֶּֽיךָ׃
6 וּרְאֵֽה־בָנִ֥ים לְבָנֶ֑יךָ שָׁ֜ל֗וֹם עַל־יִשְׂרָאֵֽל׃
Mazmur ini termasuk dalam Nyanyian Ziarah. Dalam teks aslinya שִׁ֗יר הַֽמַּ֫עֲל֥וֹת (shir hama’alah), yang diterjemahkan kidung atau pujian pendakian (ziarah). Kata מַעֲלָה (ma’alah), merupakan kata benda umum feminim jamak absolute: (ascents) pendakian, (return home from Babylon) kembali dari tanah pembuangan Babel menuju ke Yerusalem (rumah). Dapat disimpulkan bahwa nyanyian ini adalah untuk mengingat peristiwa yang terjadi di zaman pembuangan tanah Babel. Dalam tulisannya Barth juga menyatakan bahwa Mazmur ziarah ini mencerminkan suasana sesudah pembuangan dan erat hubungannya dengan mazmur 1 dan 127.[1] Nyanyian Ziarah ini merupakan sejumlah lagu yang dinyanyikan ketika orang-orang mendaki ke Yerusalem dari berbagai tempat untuk berziarah dan beribadah pada “Hari Raya Agung” sesuai aturan Taurat (Ul. 16:16).[2] Dalam hal ini Nyanyian Ziarah merupakan cara untuk “merefleksikan kembali”.
Menurut Barth Nyanyian Ziarah ini merupakan mazmur kebijaksanaan yang melukiskan hidup seorang bapa yang berjalan menurut kehendak Allah, sehingga Allah memberkati rumah tangganya sebagai warga Yerusalem.[3] Orang Israel yang berumur di atas 12 tahun harus pergi ke Yerusalem dan di tengah-tengah perjalanan, mereka menaikkan nyanyian-nyanyian. Kerinduan orang Israel adalah setiap keluarga yang pergi menyembah Allah di Yerusalem mendapatkan berkat bagi rumah tangganya masing-masing.
Mazmur 128 secara khusus membicarakan kebahagiaan keluarga. Dalam bukunya “Takhta Kristus dalam Keluarga”, Sthepen Tong mengatakan bahwa keluarga yang berbahagia adalah keluarga di mana Allah bertakhta di atasnya. Allah harus bertakhta di atas setiap keluarga, untuk menjadikan keluarga itu keluarga bahagia.[4] Hal ini merupakan titik awal bagi pemazmur, di mana ia memakai kebenaran ini untuk situasi rumah tangga yang ideal.
Dalam teks ini pemazmur memulai dengan seorang pria yang saleh, selanjutnya mengerucut kepada sang istri, serta anak-anak, dan akhirnya menunjukkan dampak, efek atau hasil dari rumah tangga yang “takut akan Tuhan” (Maz. 128:1).[5] Henry menambahkan bahwa Mazmur ini mengajarkan satu-satunya cara untuk memperoleh berkat yang akan membuat keluarga nyaman dan bahagia adalah hidup dengan takut akan Allah dan taat kepada-Nya.[6] Dalam pasal ini terkandung tujuh hal penting untuk menjadi keluarga yang bahagia.
1. Takut akan Tuhan (Mzm. 128:1)
Ayat 1 menunjukkan hubungan sebab akibat, di mana pemazmur memaparkan seorang yang berbahagia, karena hidup dalam takut akan Tuhan dan hidup menuruti jalan yang ditunjukkan-Nya. Alkitab mengatakan: “Berbahagialah setiap orang yang takut akan TUHAN, yang hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya!”. Kata “berbahagialah” diambil dari kata אֶשֶׁר ('esher) yang lebih tepat diterjemahkan diberkatilah. Kata אֶשֶׁר ('esher) sebenarnya menunjuk kepada “berkat” yang dialami ketika manusia melakukan sesuatu.[7] Hal ini menunjukkan bahwa manusia memiliki peran untuk mendatangkan berkat Tuhan. Seorang pria yang “diberkati” adalah orang yang percaya kepada Allah tanpa dalih (Mzm. 2:12; 34:8; 40:4; 84:5; 84:12; 146:5). Kata ini hendak menjelaskan bahwa seorang yang diberkati adalah seorang yang hidup dalam “takut akan Tuhan”.
Kata “takut” dalam teks Ibrani adalah יָרֵא (y¹r¢°) yang berarti: takut secara emosional, penghormatan atau kekaguman; perilaku saleh atau kesalehan, takut dalam konteks ibadah formal.[8] Kata ini memberikan pengertian bahwa seorang yang takut akan Tuhan adalah seoarang yang menaruh penghormatan dan kekaguman kepada Tuhan. Orang yang “takut akan Tuhan” akan menerapkan rasa takutnya dalam kebenaran praktis atau kesalehan, di mana di dalam kehidupan sehari-hari orang tersebut menunjukkan kehidupan yang saleh.
Takut akan Tuhan juga berarti penghormatan yang sehat kepada Tuhan yang berasal dari pengetahuan tentang Tuhan dan menghasilkan ketaatan kepada Tuhan. Takut akan Tuhan berasal dari pengenalan akan Tuhan. Rasa takut yang tepat timbul dari pemahaman kebesaran, kekuatan dan kekudusan Allah. Semakin seseorang memahami keagungan dan kebesaran Tuhan, maka hidupnya semakin saleh.[9] Mathew Henry menambahkan bahwa seorang yang takut akan Tuhan adalah seorang yang menaruh penghormatan yang mendalam untuk senantiasa tunduk pada kehendak-Nya.[10] Dalam bukunya “Tafsiran Kitab Mazmur” Barth menyatakan bahwa seorang yang takut akan Tuhan berarti merelakan diri untuk berada di bawah otoritas pemerintahan-Nya Allah.[11] Dalam hal ini orang percaya harus mendatangkan Kerajaan Allah di dalam kehidupannya.
Selain itu, pada pihak lain, ketakutan (ketaatan kepada Allah) adalah pemberian Allah, yang memampukan orang takut sekaligus menghormati kekuasaan Allah, mentaati perintah-perintah Allah, membenci sambil menjauhkan diri dari semua bentuk kejahatan (Yer. 32:40; bnd. Kej. 22:12; Ibr. 5:7).
Teks ini juga menunjukkan bahwa orang yang takut akan Tuhan hidup di dalam jalan yang ditunjukkan-Nya. Kata “jalan” diambil dari kata הָלַךְ (h¹lak) yang berarti pergi, berjalan. Kata ini dalam makna kiasan berarti: “cara hidup yang ditunjuk Tuhan melalui hukum-hukum-Nya”. Seorang yang hidup takut akan Tuhan pasti hidup di dalam hukum Allah (bnd. Mzm. 1:1). Kata “ditunjukkan-Nya” diambil dari kata דֶּרֶךְ (derek), yang berarti jalan, perjalanan, sikap. Kata ini berbentuk plural, di mana lebih menunjuk kepada sikap-sikap dan tindakan-tindakan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang yang hidup takut akan Tuhan, cara hidupnya adalah memiliki sikap-sikap dan pola tindak seperti Tuhan. Seorang yang menuruti hukum Allah harus hidup sesuai dengan kehendak Allah, bukan kehendak diri sendiri. Dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang bertumbuh dalam pengetahuan akan Tuhan, maka orang tersebut juga akan bertumbuh di dalam takut akan Tuhan.
Sesungguhnya demikianlah akan diberkati orang laki-laki yang takut akan TUHAN (ay. 4). Teks asli ayat 4 sebenarnya diawali dengan kata הִנֵּ֣ה (hineh), yang berarti: lihatlah, pandanglah. Kata ini merupakan sebuah penekanan untuk pembaca memperhatikan dengan seksama tentang sebuah subyek. Dalam ayat ini subyek tersebut adalah orang laki-laki yang “takut akan Tuhan”.
Kata “sesungguhnya” diambil dari kata kata כֵּן (ken) yang berarti: sesungguhnya, sejatinya, sejujurnya. Kata “lihatlah” kembali dipertegas dengan kata “sesungguhnya”. Dalam hal ini pemazmur tidak sedang bermain-main. Pemazmur sangat bersungguh-sungguh supaya pembaca memperhatikan dengan sangat teliti kehidupan orang yang “takut akan Tuhan”. Kata “sesungguhnya” menunjukkan suatu penekanan yang amat dalam bahwa hanya orang yang hidup “takut akan Tuhan” yang akan diberkati oleh Tuhan. Seluruh keluarganya pasti akan dijamin oleh Tuhan.
Pernyataan “takut akan Tuhan” diulang kembali dalam ayat ini menunjukkan bahwa ada suatu penekanan bahwa seorang yang hidup dalam kesalehan akan diberkati. Kata “berkat” dalam ayat 4 memakai kata ברך (barak), kata kerja Pual. imperfect 3rd person masculine tunggal, yang berarti “memberkati”. Kata ini berbeda dengan kata אֶשֶׁר ('esher), di mana berkat ini karena adanya peran manusia. Namun dalam ayat 4 ini adalah berkat yang datanganya langsung dari Allah. Berkat ini adalah pemberian kepada seseorang yang sebenarnya tidak layak menerimanya.[12]
2. Suami Berusaha dengan Benar (Mzm. 128:2a)
Kehidupan “takut akan Tuhan” akan berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan. Dalam ayat 2 menyatakan bahwa “Apabila engkau memakan hasil jerih payah tanganmu,”. Teks aslinya mengatakan יְגִ֣יעַ כַּ֭פֶּיךָ (yegiya’ kapeyd), secara literal diterjemahkan “hasil dari kerja keras tanganmu”. NIV menterjemahkan “Kamu akan memakan hasil pekerjaanmu”, Sementara NET menterjemahkan: “Anda akan memakan apa yang Anda kerjakan dengan susah payah untuk tumbuh”, sedangkan NAS mengatakan: “ketika anda akan makan buah tangan anda sendiri”. Hal ini menunjukkan bahwa seorang suami harus bekerja dan berusaha dengan benar. Stephen Tong mengatakan bahwa: “Uang yang terlalu mudah didapatkan, hancurnya dan hilangnya akan lebih mudah. Uang yang diterima tanpa melalui keringat dan jerih payah akan dipergunakan secara tidak bijaksana. Tetapi orang yang bekerja dengan usaha yang benar akan mendapatkan kebahagiaan keluarga”.[13]
Keluarga yang berbahagia adalah keluarga yang berusaha dengan benar, dengan jerih payah yang benar. Hal ini adalah prinsip kedua dari keluarga Tuhan.[14] Henry menambahkan bahwa seorang yang bekerja dengan benar akan mendapatkan mata pencaharian yang jujur dan hidup nyaman dengannya. Sekalipun tidak dijanjikan bahwa seseorang akan hidup dengan mudah, tanpa kekhawatiran atau penderitaan, tetapi seseorang akan memakan dari hasil kerja keras tangannya.[15]
Ayat 2b mengatakan: “berbahagialah engkau dan baiklah keadaanmu”. NIV menterjemahkan “berkah dan kemakmuran akan menjadi milikmu”. Penulis menyimpulkan bahwa apabila seseorang “bekerja dengan keras”, maka akan menghasilkan berkat dan keadaan yang baik. Kata “berbahagialah” memakai kata אַשְׁרֵי (ashre) particle interjection suffix 2nd person masculine tunggal, yang berarti: diberkatilah, beruntunglah, berbahagialah.[16] Kata “berbahagialah atau diberkatilah” ini membutuhkan peran dari manusia untuk memperolehnya. Dalam hal ini manusia harus melakukan sesuatu untuk dapat diberkati. Hal ini menunjukkan bahwa berkat ada apabila seorang suami bekerja keras dengan tangannya sendiri dan menghasilkan kebahagian serta keberuntungan dalam kehidupan keluarga.
Selain itu, kata “berbahagia” menunjuk kepada sesuatu yang berkecukupan. Berbahagia bukan karena kemakmuran tetapi berkecukupan dan baik keadaannya. Artinya, apa yang dinikmati itu benar-benar Allah, di mana seseorang menikmatinya dengan rasa senang dan penuh ucapan syukur. Hal ini berarti kehidupan yang berbahagia adalah hidup yang dapat menikmati hasil jerih payah tanpa rasa takut tetapi di dalamnya ada damai sejahtera.
Kata “baiklah keadaanmu” diambil dari kata טוֹב (tov/tob) yang berarti baik, kebaikan, baik dalam segala keadaan. Kehidupan yang baik dalam ayat ini memiliki makna baik secara materi, ekonomi, maupun moral. Sthephen Tong mengatakan bahwa kekayaan yang didapatkan dengan cara yang tidak benar akan mendatangkan bahaya.[17] Hal ini menyatakan bahwa keberhasilan dan berkat yang diterima, baik dalam materi, ekonomi, maupun moral didapatkan dengan hasil yang benar. Dengan kerja keras dan bertanggung jawab manusia dapat mengelola keuangannya dengan baik.
Penjelasan di atas memberikan pengertian bahwa kerja keras tidak pernah menghkhianati hasil. Keadaan yang baik dan berkat melimpah dalam kehidupan rumah tangga akan tercapai apabila seorang laki-laki (sebagai pemimpin) bekerja keras.Tanpa kerja keras tidak akan ada berkat, sebab orang malas akan hancur secara perlahan. Amsal mengatakan: “Orang malas tidak akan menangkap buruannya, tetapi orang rajin akan memperoleh harta yang berharga” (Ams 12:27); “Orang yang bermalas-malas dalam pekerjaannya sudah menjadi saudara dari si perusak” (Ams 18:9); “Si pemalas dibunuh oleh keinginannya, karena tangannya enggan bekerja” (Ams 21:25); “Hati si pemalas penuh keinginan, tetapi sia-sia, sedangkan hati orang rajin diberi kelimpahan” (Ams. 13:4).
Oleh sebab itu, seseorang harus merencanakan dan mengelola berkat Tuhan dengan benar. Orang yang merencanakan kejahatan demi mendapatkan kekayaan adalah orang yang sedang menusuk hatinya sendiri dengan pisau yang bergerigi.[18] Dalam hal ini harta yang diperoleh dengan cara-cara yang benar akan berdampak bagi kebahagiaan keluarga. Harta ini akan dapat dipertanggung jawabkan dengan baik dan dapat dikelola dengan benar. Demikian sebaliknya harta yang diperoleh dengan perbuatan jahat akan menghasilkan malapetaka.
3. Isteri Sebagai Pohon Anggur yang Subur (Mzm. 128:3a)
Kunci kebahagiaan keluarga yang ketiga adalah adanya seorang yang sehati di rumah, yang menghormati suaminya. Isteri yang sehati digambarkan sebagai pohon anggur yang subur. Pohon anggur tidak memiliki bentuk, pohon yang lembut.[19] Pohon ini lemah dan tidak kuat, dan mudah patah. Namun, apabila pohon anggur ini dipelihara dengan baik, yang carang-carangnya diikatkan pada dinding rumah, maka pohon ini akan bertumbuh subur dan lebat. Henry menambahkan bahwa Pohon anggur adalah tanaman yang perlu disokong dan dirawat, tetapi pohon anggur merupakan tanaman yang sangat berharga.[20] Apabila perawatan dan penanamanya tidak tepat, maka anggur bisa baik (manis) atau liar (asam) (bnd. Yes 5: 1-6).[21] Dalam hal ini seorang istri yang baik adalah seorang yang memiliki senjata “kelembutan”. Isteri yang lembut adalah seorang istri yang tidak cerewet dan suka marah-marah. Sebab istri demikian tidak akan mendatangkan kebahagiaan dalam keluarganya.[22]
Petani di Israel biasanya menanam pohon anggur karena air buah anggur merupakan minuman yang menyegarkan. Anggur yang menyegarkan dan menggembirakan hati itu dipelihara dengan baik sehingga menjadi pohon anggur yang subur dan menghasilkan buah yang lebat. Staven J. Cole menjelaskan bahwa sebuah pohon anggur yang subur di pertengahan musim panas Iklim timur menghasilkan sesuatu yang menyegarkan dan bergizi yang lain.[23] Hal ini menunjukkan bahwa seorang istri yang takut akan Tuhan akan memberikan kesegaran dan kegembiraan di dalam keluarga.
Buah anggur di dalam Alkitab dikaitkan dengan sukacita dan kegembiraan (Mzm. 104: 15). Frase “pohon anggur yang subur di dalam rumahmu” menunjukkan bahwa sukacita dan keadaan yang baik akan dialami oleh seluruh keluarga.[24] Selain itu, anggur di dalam PL menggambarkan berkat atau kemewahan atau “kehidupan baik”. Ini dapat merujuk pada hal-hal yang dinilai tinggi oleh orang yang tidak percaya. Hal ini memberikan pengertian bahwa hanya orang yang hidup saleh atau “takut akan Tuhan” yang dapat menikmati hidup. Di mana seorang ibu yang saleh akan memastikan bahwa rumahnya akan menjadi tempat yang menyenangkan.
Sosok pohon anggur yang subur juga menunjukkan bahwa istri yang saleh akan membuat tidak hanya rumahnya, tetapi juga dirinya sendiri, menarik bagi Suami. Kidung Agung 7: 8 secara gamblang menggambarkan istri sebagai pohon anggur yang terpuaskan oleh gugusan suaminya.[25] Isteri yang saleh ini tidak hanya berbuah banyak yang menyenangkan bagi keluarganya, tetapi juga istri yang setia. Dalam teks asli pohon anggur “di dalam rumah” diambil dari kata בְּיַרְכְּתֵ֪יָ (beyarekete), diambil dari kata בְּ yang berarti: di, di dalam, dengan, oleh, di antara; dan kata יְרֵכָה (yerekah), yang berarti: samping, bagian, sementara kata “rumah” memakali kata בֵ֫יתֶ֥ךָ (beteka), diambil dari kata בַּיִת (bayit) yang berarti: rumah, tempat tinggal, berdiam. Secara harafiah diterjemahkan “di samping rumah; di bagian rumah”. KJV menterjemahkan: “di samping rumah”.
Di tanah Israel pohon anggur ditanam dengan cara mengumpulkan batu-batu, yang lebih besar digunakan untuk membuat dinding yang melingkar. Pohon anggur yang di tanam akan tumbuh dan melilit bagian-bagian dari dinding yang melingkar.[26] Hal ini menunjukkan seorang istri yang saleh adalah seorang istri yang menempel atau melekat erat di dalam rumahnya. Steven J. Cole mengatakan bahwa seorang istri yang saleh dan ibu yang memiliki komitmen terhadap keluarganya untuk tetap setia berada di dalam pekerjaan rumah.[27] Istri dan ibu yang saleh tidak akan malas, egois. Istri ini akan rajin dan produktif, bekerja secara kreatif untuk membangun suasana rumah yang menyenangkan dan bekerja menyediakan makanan yang bergizi untuk hidup keluarganya (bnd. Ams. 31:10-31).
4. Keturunan yang Kudus (Mzm. 128:3b)
Anak-anak digambarkan seperti tunas pohon zaitun (biji zaitun). Dalam bahasa asli זֵיתִ֑יםָ (zeytima), diambil dari kata זַיִת (zayit), kata benda umum masculine jamak absolute: pohon-pohon zaitun. Kata “tunas” daimbil dari kata שָׁתִיל (shatil), kata benda umum masculine jamak construct: tunas (plant cutting), benih, biji.
Steven J. Cole berpendapat bahwa “tunas” menunjukkan suatu potensi, sekalipun belum dewasa. [28] Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan rumah tangga yang hidup dalam takut akan Allah, anaknya akan berpotensi memiliki kehidupan rohani yang sehat dan berbuah dalam perilaku yang benar. Seorang anak akan mencari figure yang dapat dicontoh atau dijadikan teladan. Apabila seorang anak mendapatkan keteladanan di dalam rumahnya, baik melalui ayah dan ibunya, maka anak tersebut akan bertumbuh dewasa dalam kehidupan rohani dan berbuah dalam perilaku yang baik.
Pohon zaitun luas dipakai sebagai simbol di kalangan orang Ibrani. Kekokohan dan kelebatan buah pohon itu menggambarkan orang benar yang ideal (Mzm. 52:6; Hos. 14:5). Seorang anak yang dilukiskan sebagai “tunas pohon zaitun” (Mzm.128:3) adalah kiasan yang mengacu pada kecakapan.[29] Apabila pohon zaitun ditebang, maka tunas-tunas baru timbul dari akarnya. Ada kalanya timbul sampai 5 batang pohon baru. Batang-batang pohon yang hampir mati biasanya juga bertunas demikian (bnd. Mazm 128:3).[30] Hal ini menunjukkan bahwa seorang yang digambarkan sebagai pohon zaitun merupakan orang yang ulet, kokoh, dan terpercaya.
Salah satu biji yang paling tidak enak di mulut adalah buah zaitun, karena buah zaitun berujung tajam, bisa melukai mulut. Ketika awal di makan biji ini terasa pahit, tetapi kemudian menjadi manis. Apabila biji ini dipecahkan dan di makan isinya, sangat enak rasanya. Itu sebabnya anak-anakmu digambarkan sebagai tunas atau benih-benih atau biji-biji zaitun. Hal ini menggambarkan bahwa untuk membesarkan anak pada awalnya memang susah, tetapi kemudian akan memberikan kebahagiaan.[31]
Biji zaitun sulit dipecahkan, tajam, dan tidak boleh sembarangan diganggu, tetapi dalamnya manis. Biji zaitun yang diperas akan menghasilkan minyak zaitun yang merupakan minayak berkualitas tinggi yang paling baik dan paling bersih. Minyak inilah yang satu-satunya boleh dipakai di Bait Allah, karena minyak ini adalah minyak yang paling tidak banyak menghasilkan asap. Pohon zaitun daunnya berwarna hijau dan menyegarkan mata. Hal ini menggambarkan anak-anak yang bertumbuh baik, segar, dan disukai oleh orang lain. Disini pemazmur menggambarkan anak-anak yang tahu menghormati, mengasihi orangtuanya maka masa depan anak sangat berbahagia.
Sthepen Tong mengatakan bahwa anak-anak dari keluarga yang takut akan Tuhan adalah anak-anak yang manis, yeng menjadi berkat, dan tidak sombong. Anak-anak seperti ini adalah anak-anak yang melayani dengan rendah hati. Pelayanan yang dikerjakan dengan sukacita, dengan hati yang penuh ucapan syukur dan memberikan hasil yang sangat baik.[32]
Pohon zaitun melambangkan kehidupan rohani yang sehat dan berbuah. Pohon zaitun itu adalah lambang keberhasilan mencakup kelimpahan, dengan mana Allah menyediakan segala sesuatu untuk keperluan manusia (Mzm 52:8; 128:3; Za 4:3,12; Why 11:4).[33] Pohon zaitun adalah pohon yang kuat dan tidak mudah roboh. Anak-anak akan kuat dan kokoh dalam iman karena telah melihat teladan yang baik dari kedua orangtuanya dalam melakukan firman Tuhan. Sthepen Tong menambahkan bahwa mereka akan menjadi anak-anak yang memiliki prinsip kuat, yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh berbagai penyesatan di zaman ini, oleh tekanan teman-teman yang tidak takut akan Tuhan.[34]
Frase “sekeliling mejamu” menunjukkan bahwa seorang anak akan menjadi dampak yang baik keluarga dan di tengah masyarakat. Meja makan merupakan tempat kebersamaan bersama keluarga, di mana ada komunikasi dan keterbukaan sehingga mereka akan menjadi pohon zaitun yang berguna di masa depannya.
5. Berkat Special (Mzm. 128:5)
Berkat Tuhan datangnya dari Sion, di mana ayat 5 mengatakan: “Kiranya TUHAN memberkati engkau dari Sion,”. Sion adalah tempat Perjanjian Allah dengan manusia. Sion adalah satu-satunya tempat di mana Tabut Perjanjian Tuhan diletakkan.[35] Henry menyatakan bahwa berkat-berkat dari Sion adalah berkat-berkat yang terbaik, yang mengalir, bukan dari pemeliharaan ilahi yang biasa, melainkan dari anugerah yang istimewa.[36] Tong menambahkan bahwa keluarga yang mendapatkan dan menikmati berkat dari Sion adalah keluarga yang akan terus-menerus merasakan kebahagian.[37]
Ayat 5b mengatakan “…supaya engkau melihat kebahagiaan Yerusalem seumur hidupmu”. Ayat ini menjelaskan bahwa berkat yang dialami tidak hanya untuk keluarga, tetapi juga kota bahkan bangsa. Berkat akan meluas dari keluarga sampai ke kota bahkan bangsa. Yerusalem adalah tempat di mana Rumah Tuhan. Yerusalem, sebagai tempat kediaman Allah di tengah-tengah umat-Nya (2 Sam. 15:29; 1 Raj. 11:13). Frase “engkau akan melihat kebahagiaan Yerusalem seumur hidup”, menunjukkan bahwa selama hidup, seseorang akan melihat pekerjaan Tuhan dan terus hidup untuk melayani pekerjaan Tuhan. Ini adalah sebuah kebahagiaan yang begitu besar yang disediakan bagi setiap keluarga. Dalam hal ini keluarga yang bahagia adalah keluarga yang terus-menerus menyaksikan kerajaan Tuhan bertumbuh.
Selain itu, Mazmur ini dengan indah mengikat keluarga dan bangsa bersama-sama dalam pemikiran peziarah Israel yang bepergian bersama keluarganya ke Yerusalem untuk sebuah pesta nasional. Ini adalah pengingat akan pentingnya berkat Tuhan atas rumah dan bangsa yang saling bergantung. Keluarga dan bangsa hanya bisa berhasil dengan berkat Tuhan. Yerusalem juga diambil dari kata shalem atau shalom yang berarti damai sejahtera dan kesejahteraan. Hal ini menunjukkan bahwa Yerusalem merupakan tempat di mana semua keluarga akan mengalami kebahagiaan dan kesejahteraan serta mengalami damai sejahtera di dalam kehidupannya seumur hidup.[38]
6. Masa Tua yang Tersenyum (Mzm. 128:6)
Ayat 6 menyatakan “dan melihat anak-anak dari anak-anakmu! Damai sejahtera atas Israel!. Ayat 6 berbicara mengenai keturunan dari orang yang takut akan Tuhan. Berkat ini akan dialami oleh generasi ke generasi. Barth menambahkan bahwa berkat Tuhan bukan milik kita pribadi yang dapat dinikmati sendiri-sendiri, melaikan kebaikan yang meluas ke dalam persekutuan baik di Yerusalem sampai ke atas Israel, maupun di dalam waktu sampai pada zaman anak cucu (bnd. Kel. 20:6). Inilah syalom atau damai sejatera bagi semua umat Tuhan.[39] Inilah yang disebut keluarga yang bahagia, di mana keluarga dipimpin oleh Tuhan. Berkat yang dialami adalah berkat yang sepenuh.
7. Kesimpulan Mazmur 128
Penulis dapat mengambil kesimpulan di mana sikap hidup “takut akan Tuhan” ini harus dimulai dari masing-masing pribadi anggota keluarga, sehingga keluarganya bahagia. Seorang suami sebagai kepala keluarga mengambil peran pemimpin rohani bagi keluarganya. Suami memiliki kehidupan yang berkenan kepada Tuhan, sehingga dapat mengarahkan keluarganya kepada jalan Tuhan, dan memenuhi tanggungjawabnya sebagai kepala keluarga. Seorang suami memiliki istri dan keturunan yang membahagiakan keluarganya. Istrinya akan menjadi seorang wanita yang menyenangkan hati suami dan anak-anaknya, sehingga suasana rumah bahagia dan nyaman. Demikian pula dengan anak-anaknya, kelak akan menjadi pewaris keluarga yang berguna. Berkat bagi mereka yang takut akan Tuhan bukan hanya dirasakan dalam lingkup rumah tangga, tetapi juga dalam masyarakat dan bangsa. Keluarga yang takut akan Tuhan merupakan pilar-pilar pembentuk bangsa yang kokoh (ay.5) dan membawa kesejahteraan bagi generasi berikutnya (ay.6).
[1]Barth, Marie Claire & Pareira, Tafsiran Kitab Mazmur 73-150 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008, cet. 8), 403.
[2]Allen
Leslie, Word Biblical Commentary, Volume
2 : Psalms 101-150 (Dallas, Texas : Word Books Publisher., 1998),_
[3]Barth, 402-403.
[4]Sthepen Tong, Takhta Kristus dalam Keluarga (Surabaya: Momentum, 2011), 83.
[5]Steven J. Cole, Eksposisi Psalm 128: Fellowship Christian Flagstaff (17 Oktober 1993), 3.
[6]Matthew Henry, Kitab Mazmur 101-150 (Surabaya: Momentum, 2012), 1883.
[7]Lexicon dari kata ashrê : TDOT I, 445-448.
[8]TWOT Hebrew Lexicon, “yare’.”
[9]Steven J. Cole, 4.
[10]Matthew Henry, 1884.
[11]Barth,
403.
[12]Eichrodt,
W., Theology of the Old Testament, II, tr. J. A. Baker, Westminster, 1967, pp.
349-351.
[13]Sthephen Tong, 84.
[14]Ibid, 84-85.
[15]Matthew
Henry, 1885.
[16]Bible Work, TWOT Hebrew Lexicon, kata אַשְׁרֵי (ashre).
[17]Sthephen
Tong, 87.
[18]Sthepen
Tong, 88-89.
[19]Sthepen Tong, 94.
[20]Matthew Henry, 1886.
[21]Brown, J. P., “The Mediterranean Vocabulary of the Vine” (VT 19), 146-170.
[22]Sthepen
Tong, 95.
[23]Steven J. Cole, 6.
[24]Ibid, 7.
[25]Ibid.,
[26]Brown, J. P., 146-170.
[27]Steven
J. Cole, 7.
[28]Steven J. Cole, 8.
[29]W. M Ramsay, Pauline and Other Studies (1906), 219; H. N dan A. L Moldenke, Plants of the Bible (1952), 157-160.
[30]Ibid.,
[31]Sthepen
Tong, 98.
[32]Sthepen Tong, 99.
[33]Moldenke, Plants of the Bible (1952), 157-160.
[34]Sthepen
Tong, 99.
[35]Sthepen Tong, 101.
[36]Matthew Henry, 1888.
[37]Sthepen
Tong, 101.
[38]Barth, 403.
[39]Ibid.,
Posting Komentar untuk "Keluarga Kristen | Berkat atas Rumah Tangga (Mzm. 128)"