Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pendidikan Agama Kristen: Peran Orang Tua Dalam Mendidik Anak (Ulangan 6:4-9)

Bagian dalam Ulangan 6:6-9 tidak terlepas dari ayat sebelumnya, di mana pasal 6 ini merupakan rangkuman yang lebih ketat tentang respons yang dituntut dari umat Allah.  Inilah yang disebut Shema oleh orang Yahudi, kata pertama dalam bahasa Ibrani pada ayat 4.

“Hear O Israel: the Lord is our God, the Lord is One. Blessed be His Name Whose Glorious kingdom is forever and ever. And you shall love the Lord your God with all your heart and with all your soul and with all your might. And the words which I command you this day shall be upon your heart, and you shall teach the diligently to your children; and you shall talk of them when you sit in your house and when you walk by the way and when you lie down and when you rise up. And you shall bind them for a sign upon your hand, and they shall be frontlets between your eyes. And you shall write them upon the door-posts of your house and upon your gates”. 

Teks Shema di atas secara ringkas dijelaskan bagaimana seharusnya umat Allah merespons Allah. Dalam teks Ulangan 6:4-5 menjadi titik tumpuan pengakuan dari iman Perjanjian Lama yang mendefinisikan Yahwe sebagai raja yang unik dan mengurangi kewajiban orang Israel kepada Dia menjadi satu kasih yang eksklusif, yaitu, ketaatan.” Melalui shema Israel diajar untuk memilih persekutuan yang intim dengan Tuhan sebagai prioritas utama. Pengakuan iman dalam Ul 6:4-6 ini, sering diucapkan di setiap ibadah ceremonial Israel. Sejak masa Bait suci kedua (516 SM), bahkan diulang sampai hari ini oleh orang-orang Yahudi baik di pagi dan sore dan pada setiap kesempatan ibadah.  

Shema Israel ini memiliki makna yang sangat mendalam bagi orang Israel, sehingga pengakuan iman ini harus terus-menerus diulang dengan tekun. Kata ‎  שְׁמַ֖ע (shema) yang berbentuk kata kerja qal imperative masculine singular. Imperatif ini dipakai hanya untuk mengekspresikan perintah positif dan tidak pernah mengekspresikan sebuah larangan. Diterjemahkan “dengar” bukan berarti tidak menekankan, tetapi harus terus menerus di perkatakan (diperdengarkan) yang akan menimbulkan ketaatan; to hear intelligently (mendengarkan dengan penuh perhatian dan ketaatan), give ear (memberi telinga), understand (mengerti). 

Menurut Paul Barker ayat 4 merupakan ajakan untuk setia dan taat secara total dan penuh kepada Allah. Allah tidak mentoleransi pengkhianat.  Kesetiaan dan ketaatan bahwa hanya ada satu Allah yaitu Tuhannya bangsa Israel, Yehwāh. Yehwāh bukan Allah yang utama diantara dewa-dewa lain (seperti Baal dalam kepercayaan orang Kanaan) melainkan Yehwāh satu-satunya Allah, Allah yang Esa. Kesetiaan dan ketaatan itu harus diaplikasikan dengan mengasihi Tuhan dengan segenap hati dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan (Ul. 6:5). Selain itu, kesetiaan dan ketaatan untuk mengajarkan iman mereka dengan tekun kepada anak-anak mereka.

Dalam teks Ibrani, ayat 6 di mulai dengan kata וְ (waw) particle conjunction yang berarti: dan, kemudian,  atau, sekarang. Kata “dan” ini menunjukkan bahwa ayat ini sangat erat dengan berhubungan dengan kata kerja sebelumnya, yaitu shema. Sesungguhnya kata “perintah atau arahan” yang diambil dari kata צוה (tsavah) ini menunjukkan perintah untuk hidup dalam ketaatan mutlak kepada Allah satu-satunya yaitu Yahweh dan perintah untuk mengasihi Allah Yahweh dengan segenap hati, dan dengan segenap jiwa dan dengan segenap kekuatan. 

Perintah-perintah di atas haruslah “engkau perhatikan”. Allah Israel hendak menunjukkan kepada umat-Nya untuk fokus akan perintahnya. NLT meterjemahkan: “engkau harus berkomitmen sengan sepenuh hati untuk melakukan apa yang kuperintahkan”; Sementara NIV memberikan terjemahan: “engkau taruh di dalam hatimu”; berbeda dengan terjemahan NET: “engkau ingat”. Dalam teks Ibrani kata “engkau perhatikan” sesungguhnya memakai kata לֵבָב (lebab) yang berarti: pikiran (pemahaman), hati, hati nurani, keinginan. Dalam budaya Israel, “hati” seringkali dianggap sebagai pusat kehidupan seseorang. “Hati” adalah hal yang terpenting, yang menggerakkan seluruh aspek kehidupan. Jadi, ini bukan sekadar “memperhatikan”, seolah-olah ini hanyalah sebuah aktivitas visual atau intelektual. Hal ini adalah tentang meletakkan sesuatu yang terpenting (firman TUHAN) di tempat yang terpenting (hati manusia).

Ulanngan 6:4-5 menyiratkan bahwa keesaan dan keutamaan TUHAN merupakan pondasi bagi hubungan kerohanian yang benar. Tanpa mengetahui dan mengakui keesaan dan keutamaan TUHAN, umat Israel tidak akan mampu mengasihi dan mentaati Allah Yahweh dengan segala totalitas kehidupan.   Oleh sebab itu, perintah untuk menyembah Allah Yahweh dan mengasihi-Nya tidak cukup diperhatikan, tetapi perlu tertanam di dalam pikiran dan hati. Perintah untuk taat secara total ini didorong atau dimotivasi oleh kasih Allah Yaweh kepada umat-Nya. Sehingga perintah itu sungguh-sungguh menjadi sebuah keinginan untuk dilakukan. Perintah bukanlah paksaan, melainkan sebuah kebutuhan. Perintah ini hendak menunjukkan bahwa umat Israel harus mengenal Allah yang benar secara proporsional atau ideal, karena pemahaman seseorang akan Allah, akan mempengaruhi tindakan seseorang.

Kesinambungan ayat 6 dan 7 sangat menarik, di mana pendidik atau orang tua harus mengerti, memahami dan mengalami kuasa Firman Tuhan terlebih dahulu sebelum mereka mengajarkan kepada anak-anaknya secara berulang-ulang. Perintah untuk mengajarkan Firman Allah dalam Kitab Ulangan ini, melibatkan keseluruhan hidup si pendidik, dan menuntut adanya sebuah keteladanan (bnd. Ay 6). Pendidik sendiri, dalam hal ini orang tua, harus hidup dalam Firman Allah. Jadi proses transfer of knowledge yang terjadi sebetulnya bersifat pendidikan, dan tidak hanya bersifat pengajaran kognitif belaka. Sebab, tidak mungkin seseorang mengajar atau mendidik, tanpa mengerti dan mengalami terlebih dahulu apa yang diajarkan, yaitu mengalami Firman Tuhan. 

Mengajarkan kebenaran kepada anak-anak merupakan tanggung-jawab setiap orang tua. Teks dalam ayat 7 juga dimulai dengan kata וְ (waw) particle conjunction yang diambil dari kata וְשִׁנַּנְתָּ֣ם (weshinanetam) yang memiliki bentuk dasar שׁנן (shanan) yang memiliki bentuk kata kerja piel perfect yang artinya: mengajarkan; mempertajam; meruncingkan; menanam. Dalam Piel ini adalah penggunaan satu-satunya. Istilah ini di Ugarit berarti “mengulang”. Itu tampaknya menjadi penekanan dasar ayat ini. Para rabi menggunakan ayat ini untuk menegaskan bahwa Shema harus “diulang-ulang” pagi dan sore hari.  KJV menterjemahkan “shalt teach them diligently” (haruslah mengajar mereka dengan tekun atau dengan rajin); NIV memberikan terjemahan: “ukirlah”. 

Jadi frasa “ajarkanlah berulang-ulang” di sini hendak menekankan bahwa proses pendidikan itu harus betul-betul mengakibatkan adanya nilai-nilai yang terukir (impress) dalam diri peserta didik. Oleh sebab itu, orang tua atau pendidik harus mengajar dengan tekun dan rajin. Sehingga anak-anak yang diajar semakin hari semakin tajam dan menghidupi nilai-nilai yang diajarkan. 

Kata “membicarakannya” diambil dari kata דבר (dabar) yang berarti: untuk membicarakan; menyatakan dengan ucapan; berjanji, di mana memiliki kata kerja piel perfect, di mana hal ini menunjukkan sebuah kata yang harus “diulang”. Pembicaraan Firman Tuhan harus diulang dengan tekun dan rajin. Tidak cukup mengajarkan berulang-ulang tetapi juga diucapkan berulang-ulang. Apabila Firman Tuhan ada di hati umat Tuhan terus menerus, maka umat Tuhan akan membicarakannya terus-menerus dengan anak-anak mereka. Hal ini bertujuan supaya anak-anak mengingat terus-menerus apa yang telah mereka pelajari, sehingga tidak hanya dipelajari melainkan juga dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Kata דבר (dabar) bukan sekedar sebuah ucapan kosong, tetapi ucapan yang mengandung sebuah janji kepada Tuhan untuk menyembah dan mengasihi Allah Yahweh saja. Janji atau ucapan ini terimplikasi dalam kehidupan sehari-hari. Maksud dari semuanya ini adalah “kehidupan sebagai sarana pembelajaran”. Orang tua bertugas untuk mengaitkan kebenaran firman Tuhan dengan setiap aspek kehidupan. Intinya, bagaimana menjalani kehidupan seturut dengan kebenaran firman Tuhan. Wyclife menambahkan bahwa Orang saleh harus merenungkan hukum Allah tersebut siang dan malam (Ul 6:7b-9; bnd. Mzm. 1:2). 

Musa di sini bukan melakukan persyaratan seremonial, tetapi menguraikan tuntutan untuk senantiasa terfokus kepada perkenan Tuhan Israel melalui gambaran-gambaran yang konkret.  Jadi kemanapun Israel pergi, kapan pun, apa pun yang dilakukan atau dipikirkan, di rumah atau jauh dari rumah, baik sebelum tidur maupun pada saat beraktifitas atau melakukan pekerjaan (ay. 6-9), perintah untuk mengasihi tetap berlaku, secara total dan penuh. Apabila hal ini dipahami secara harafiah, maka poin ini akan kehilangan maknanya. 

Dalam bagian ayat 8: “Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu”.  Para rabi mengambil ayat ini sangat harfiah dan mereka mulai untuk membungkus tali kulit di tangan kiri mereka dengan sebuah kotak kecil (tefillin) yang terlampir yang berisi Kitab Suci yang terpilih dari Taurat. Jenis kotak yang sama juga diikat ke dahi mereka yang disebut “Phylactery” atau “tali sembahyang” (Ul. 11:18; bnd. Mat. 23:5).  Hal ini melenceng dari konteks yang diungkapkan oleh Musa. Konteks ini adalah kesempatan untuk mengajar kebenaran Firman dalam gaya hidup setiap individu. 

Frasa “mengikatkannya sebagai tanda” diambil dari kata וּקְשַׁרְתָּ֥ם (weqesharetam) dari kata וְ (we) particle conjunction yang berarti: dan; dan kata קשׁר (qashar) verb qal waw consec perfect 2nd person masculine singular suffix 3rd person masculine plural  yang berarti: ikatkan; bergabung bersama, berkonspirasi. Kata “sebagai tanda” diambil dari kata  לְא֖וֹת (le’it) dari kata לְ (le) particle preposition yang berarti: kepada, untuk, sebagai; dan kata אוֹת (oth) noun common both singular absolute yang berarti: tanda. Hal ini menunjukkan bahwa umat Israel bukan hanya mengikatkan secara harafiah, tetapi perlu menyatu dan berkonspirasi dengan Firman Tuhan, sebagai tanda di tangan dan di dahi. 

Kata “tangan” diambil dari kata kata יָד (yad) noun common feminine singular construct suffix 2nd person masculine singular yang berarti: tangan dan kekuatan. Kata “tangan” melambangkan tindakan. Setiap orang melakukan semua aktivitas menggunakan tangan. TWOT melambangkan “tangan” sebagai kekuasaa dan kekuatan.  Dalam teks ini menunjuk bahwa Firman Tuhan harus dilakukan, sehingga menjadi kekuatan di dalam setiap individu. Artinya, apapun yang seseorang lakukan harus mewujudkan kasihnya kepada TUHAN. Inilah peran orang tua atau pendidik untuk memastikan anak-anaknya melakukan kebenaran Firman Tuhan.

Kata “dahi” sesungguhnya tidak ada dalam teks Ibrani tetapi memakai kata בֵּ֥ין (bayin) yang diambil dari kata בַּיִן (bayin) particle preposition yang berarti: diantara, disela-sela. Dan kata עֵינֶֽיךָ (‘eyneyka) yang diambil dari kata עַיִן (‘ayin) noun common both dual construct suffix 2nd person masculine singular yang berarti: mata. Kata Ibrani yang digunakan lebih mengarah pada area “di antara dua mata”. Hal ini sama dengan beberapa terjemahan bahasa Inggris seperti: KJV/ASV/RSV/ESV. Pengertian “di antara dua mata” berbicara tentang cara pandang, pendapat, dan penilaian. Bukan hanya apa yang sebaiknya dipandang, melainkan bagaimana umat Allah memandang segala sesuatu. Frasa “menempatkannya di dahi” berarti bahwa pikiran dan sikap seseorang harus mengomunikasikan kebenaran Tuhan. TWOT lexicon menambahkan bahwa “mata” berhubungan dengan keseluruhan proses melihat dan dengan perluasan, pemahaman dan kepatuhan (Yer. 5:21). Mata juga digunakan untuk mengekspresikan pengetahuan, karakter, sikap, kecenderungan, pendapat, gairah, dan respons. Mata adalah barometer yang baik untuk pikiran manusia.  Dalam hal ini orang tua harus memastikan bahwa dasar pengetahuan Firman Tuhan, sehingga dapat menghasilkan cara pandang dan karakter yang hebat.

Setiap pengajaran Firman harus dituliskan pada tiang pintu rumah dan pintu gerbang. Kalimat ini jangan dipahami secara harafiah, sebab kata ini mengandung makna yang dalam secara figurative. Kata “menuliskannya” diambil dari kata כתב (katab) verb qal waw consec perfect 2nd person masculine singular suffix 3rd person masculine plural yang berarti: tuliskanlah, rekamlah. Musa memerintahkan setiap orang tua untuk mengajar anak-anaknya untuk menuliskan Firman Tuhan di pintu-pintu rumah dan di pintu-pintu gerbang.

Secara harafiah “tiang pintu rumah” sering dipandang sebagai tempat iblis dalam dunia Yunani dan Romawi, dalam dunia Yahudi itu mewakili kehadiran Allah (yaitu, tempat di mana darah Paskah ditempatkan (Kel. 12:7,22, 23).  Namun, sesungguhnya Musa ingin menunjukkan bahwa kehidupan di rumah sebagai latar untuk mengajarkan kebenaran Tuhan. Rumah merupakan tempat di mana ada perlindungan dan perhatian, ada keamanan dan kasih sayang, ada kenyamanan dan kedekatan. Semua ini bukan hanya harus ada dalam suatu keluarga, tetapi keberadaannya dinafasi oleh nilai-nilai firman Tuhan, bukan sembarang moralitas.  

Selain “tiang pintu-pintu rumah” Firman Tuhan harus dituliskan di pintu-pintu gerbang. Menurut tradisi “Gerbangmu” bisa merujuk ke tempat pertemuan sosial dan keadilan (yakni, seperti gerbang kota). Biasanya, kotak-kotak kecil dan tanda-tanda pintu (mezuza) ini mengandung beberapa bagian dari Kitab Suci (Ul. 6:4-9; 11:13-2; Kel 13:1-10,11-16). Secara figurative kata ini ingin menunjuk kepada “kehidupan social”, di mana di lingkuangan sosial merupakan kesempatan untuk berbicara tentang Tuhan. Selain itu, “pintu gerbang” merupakan tempat berkumpul para pemimpin kota. Para tua-tua biasanya mengambil keputusan-keputusan penting di sana. Meletakkan firman Tuhan di pintu gerbang berarti mengakui otoritas firman Tuhan dalam setiap keputusan yang diambil.

Dapat disimpulkan bahwa ayat 9 ingin menunjukkan bahwa meletakkan firman TUHAN di pintu rumah dan pintu gerbang menandakan sebuah pergeseran dari wilayah personal (tindakan dan penilaian) ke wilayah sosial (relasi dengan komunitas). Spiritualitas pribadi tidak pernah berhenti pada diri sendiri. Keintiman dengan TUHAN bukan pengasingan dari lingkungan. Sebaliknya, kualitas kerohanian seringkali tergambar jelas dalam kehidupan bersama orang lain.

Konklusi Ulangan 6:6-9

Apabila seseorang ingin membangkitkan cucu-cucu yang saleh, orang tersebut harus mengasihi Allah dengan sungguh-sungguh dan Anda harus mengajar anak-anak Anda dengan tekun. Sebab perintah Allah itu tidak hanya menyangkut peraturan legalitas saja, melainkan segenap hidup (segenap hati, jiwa, dan kekuatan). Mengasihi Tuhan Allah dan memiliki-Nya adalah harta karun yang tak ternilai, dan sukacita yang tak terungkapkan. Sehingga setiap orang akan dengan sukacita melakukan dengan setia dan mentaati setiap perintah Allah untuk mengasihi Allah dengan totalitas. Serta mengajarkan dan membicarakannya kepada anak-anaknya dengan antusias dan sukacita. 

Posting Komentar untuk "Pendidikan Agama Kristen: Peran Orang Tua Dalam Mendidik Anak (Ulangan 6:4-9)"