Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Khotbah Kristen: Tuan dan Hamba (Lukas 17:7-10)

Menghadapi tugas pelayanan dari Yesus, para murid merasa bimbang dan takut. Tugas mereka tidak ringan. Dalam menjalankan tugasnya, mereka harus menghadapi para penyesat (17:1-2), yang sering merusak ajaran Tuhan, hal ini menimbulkan atau menciptakan konflik tersendiri. Ada kemungkinan, mereka akan mengalami sakit hati atau bahkan mengalami penderita fisik. Sikap yang harus mereka tunjukkan adalah mengampuni tanpa terbatas. 

Oleh sebab itu, mereka memohon kepada Yesus agar imannya ditambahkan. Yesus mengajar bahwa yang penting bukan besar-kecilnya iman melainkan bagaimana iman itu dikerjakan. Maka rintangan sebesar apapun akan teratasi. Kerjakanlah penegoran atas dosa, dan pengampunan sebagaimana Allah sudah mengampunimu. Itulah buah imanmu. Dan jawaban Yesus sangat melegakan, yaitu bahwa iman yang hanya sebesar biji sesawi saja sebetulnya mempunyai kuasa yang sangat besar (Lukas 17:3-6).

Iman yang besar harus diimbangi dengan ketaatan sebagai hamba. Inilah yang diajarkan Tuhan Yesus dalam Lukas 17:7-10. Murid yang beriman mendapatkan kekuatannya justru dari ketaatannya sebagai hamba. Sumber kekuatan untuk menegor dan mengampuni dosa adalah ketaatan sepenuhnya kepada Allah. 

Yesus berkata: “Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya; akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya? Tentu saja tidak” Yesus melanjutkan, “Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan”.

Konteks dari perumpamaan ini adalah hubungan yang dingin dan kaku antara seorang tuan dengan budaknya pada zaman dahulu, di mana seorang budak diharapkan mematuhi apapun yang diperintahkan tuannya untuk dia kerjakan. Jika tuannya memerintahkan hambanya untuk membajak ladang sepanjang hari dan menyiapkan makan malam sesudah dia kembali ke rumah, dia harus taat karena dia tahu bahwa semua itu adalah tugasnya. Dan di dalam melakukan tugasnya, seorang budak tidak menerima ucapan “terima kasih,” karena mengucapkan terima kasih kepada budak adalah hal yang tidak biasa.

Ayat di atas menunjukkan bahwa Yesus menginginkan murid-Nya mengerti esensi atau makna hamba yang taat dalam melayani. Hamba yang taat ketika di minta untuk membajak atau menggembalakan ternak harus melakukan tugas tersebut dengan baik. Dan sesudah selesai pekerjaan yang satu harus pulang dan menyiapkan makan. Dia harus mengikat pinggangnya, di mana hal ini menunjukkan suatu kesiapan siap sedia dalam segala keadaan untuk melakukan apa yang diperintahkan Tuannya. Bahkan yang paling menyedihkan dia tidak menerima ucapan terima kasih. Dalam konteks ini ucapan terima kasih tidak lah perlu diucapkan karena seorang hamba hanya melakukan apa yang diperintahkan tuannya dan memang seharusnya demikian yang diperbuatnya. Apabila kita tidak menerima ucapan terima kasih dari orang yang kita bantu, tentu kita jangan sampai marah atau pun jengkel. Hal ini adalah tanggung jawab kita sebagai hamba. 

Yesus menceritakan perumpamaan tentang tuan dan hamba untuk memberikan perspektif tentang arti menjadi seorang hamba kepada murid-murid-Nya. Tuan tersebut dapat membuat tuntutan-tuntutan yang jauh atas waktu dan keterampilan hambanya. Dia berhak melakukan hal ini demi keuntungan dan kesenangannya sendiri. Yesus mengisyaratkan, jika hal ini berlaku antara tuan dan hambanya, betapa lebihnya dengan hamba-hamba Allah yang telah dipanggil untuk mengasihi dan melayani Allah dengan hati, jiwa, pikiran, dan kekuatan. Apabila  Allah menyuruh hamba-hamba-Nya kudus karena Dia adalah Kudus, maka tidak seorang pun dapat datang kepada-Nya dan mengharapkan upah karena pekerjaan yang dilakukannya. Tidak seorang pun dapat menuntut kata pujian dari Dia karena melakukan tugasnya. Jika Allah memberi pujian dan upah, Dia melakukannya karena anugerah bukan karena balas jasa.

Kata “hamba” dalam bahasa Yunaninya doulos yang artinya budak, menunjuk kepada suatu jabatan yang boleh dikatakan sangat rendah, karena seorang budak bertugas melayani tuannya dengan tidak berbantah-bantah. Suatu sikap penyerahan segala “hak pribadi” secara utuh untuk diatur oleh majikannya. Berarti ia sedang menyangkal dirinya atau tidak berhak lagi atas hak pribadinya. Hak itu sudah melebur atau menyatu dengan hak tuannya. Akan tetapi haknya itu sekali lagi tak kelihatan kekuatannya. 

Hamba pada abad pertama adalah budak tulen (orisinil) atau budak asli 100%. Budak dapat didefinisikan sebagai: Seseorang yang telah kehilangan segalanya didunia ini, Kemerdekaannya telah dirampa, Kebebasannya telah musnah, Kehendaknya telah hampa, Bahkan namanya atau keinginannya sudah tidak ada lagi.

Dalam ayat 10 menjelaskan kepada kita 2 makna hamba. 

1. Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna (ay. 10)

Kata “tidak berguna” dalam teks aslinya memakai kata ἀχρεῖοί (achreioi), yang berarti:  tidak ada gunanya; orang-orang yang tidak menguntungkan, tidak layak, tidak layak mendapat pujian secara khusus, sengsara. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai murid Tuhan harus memiliki konsep hamba yang tidak berguna, dan hamba yang tidak layak mendapat pujian. Konsep seperti inilah yang diteladankan Tuhan Yesus di dalam kehidupannya. Dia mati di atas kayu salib untuk orang berdosa, tetapi pada saat itu orang-orang menghujat Dia dan mencemooh Dia. Hal inilah yang harus dimiliki atau ditanamkan di dalam pikiran dan hati kita sebagai umat Tuhan. 

2. Kami melakukan apa yang kami harus lakukan (ay. 10)

Frase ini menunjukkan sebuah ketaatan mutlak. Di mana kata taat atau tunduk diambil dari kata (hupotasso) yang memiliki pengertian  “meletakkan diri di bawah sesuatu”. Seorang hamba harus mengosongkan dirinya (kenosis) membuat dirinya sendiri kosong. Dunia katakan bahwa kenaikan level adalah keatas. Tetapi Kekristenan menunjukkan bahwa kenaikan level adalah turun. Saudara bisa dikatakan naik level imannya kalau saudara berada pada posisi “kosong”. 

Saudara tidak akan pernah mengerti hati hamba, apabila engkau tidak membuat dirimu sendiri kosong. Engkau tidak punya keinginan-keinginan selain meyukakan hati tuanmu. Engkau tidak punya ambisi-ambisi pribadi, selain mengikuti kehendak Tuhan. Engkau tidak punya kepentingan-kepentingan pribadi, selain kepentingan Tuhan. “keakuanmu” harus habis. Engkau gak cari kepujian, penghormatan, pengakuan, kemuliaan. Tetapi semuanya hanya engkau lakukan untuk hormat kemualiaan nama Tuhan. “Siapa saja yang menganggap dirinya terlalu besar untuk mengerjakan hal-hal kecil, akan menjadi terlalu kecil untuk hal-hal besar.”

Sementara kata “melakukan” ini di ambil dari kata ὀφείλω  (opheilo), yang berarti: melakukan. Kata ini memiliki makna seseorang yang berkewajiban melakukan segala sesuatu yang diperintahkan tuannya karena ia telah berhutang. Kata ini juga memiliki kasus present indicative active, di mana kata ini menunjuk kepada suatu perintah yang harus dengan sungguh-sungguh dilakukan. 

Ketika kita berdiri sebagai hamba Tuhan kita berdiri sebagai seorang yang berhutang, di mana kita berkewajiban untuk membayar hutang kita. Sehingga kita melakukan dengan sebuah keharusan sebagai orang yang berhutang. Kita tidak berhak untuk memberontak atau tidak taat, sebab kitalah yang harusnya berterima kasih kepada tuan kita yaitu Yesus. 



Posting Komentar untuk "Khotbah Kristen: Tuan dan Hamba (Lukas 17:7-10)"