Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Kota Roma Terbakar Tahun 64 Masehi

Tanpa kekaisaran Romawi, kekristenan mustahil berkembang dengan sukses. Kekaisaran itu dapat dikatakan sebagai bom waktu yang menanti pemicuan iman Kristen.

Unsur-unsur pemersatu kekaisaran itu membantu penyebaran berita Injil: jalan raya yang dibangun orang Romawi membuat perjalanan dari satu tempat ke tempat lain lebih mudah; di seluruh kekaisaran orang-orang dapat berkomunikasi dalam Bahasa Yunani; dan pasukan Romawi yang tangguh itu menjaga kedamaian. Sebagai akibat mobilitas yang meningkat, kelompok-kelompok pengrajin pun bermigrasi mencari permukiman sementara di kota-kota besar – Roma, Korintus, Athena atau Alexandria – kemudian berlanjut ke kota-kota lainnya. 

Kekristenan memasuki iklim yang terbuka secara religious. Dalam gerakan “zaman baru” itu, banyak orang mulai menganut agama-agama Timur – seperti menyembah Isis (Dewi Alam), Dionisus (Dewa Anggur), Mithras (Dewa Cahaya), Kibele (Dewi Alam), dan sebagainya. Para pemuja mencari keyakinan baru, namun beberapa agama tersebut dilarang, karena dicurigai melakukan upacara-upacara penghinaan. Keyakinan lain secara resmi diakui, seperti Yudaisme, yang dilindungi sejak zaman Julius Caesar, meskipun monoteismenya dan penyataan alkitabiahnya telah memisahkan dari cara pemujaan lain.

Melihat kesempatan baik ini, para pekabar Injil mulai menelusuri seantero kekaisaran. Di sinagoge (rumah ibadah) orang Yahudi, di tempat-tempat penampuangan para pengrajin, di pondok-pondok kumuh, mereka menyebarkan berita Injil dan memenangan jiwa-jiwa baru. Tidak lama kemudian berdirilah gereja di kota-kota besar, temasuk ibu kota kekaisaran.

Kota Roma, pusat kekaisaran, menarik orang-orang seperti magnet. Paulus sendiri pernah menginginkan konjungan ke kota tersebut (Rm. 1L10-12); dan pada akhirnya suratnya kepada jemaat di Roma, ia sudah mengenal banyak orang Kristen di sana (Rm. 16:13-15). Mungkin ia pernah bertemu mereka dalam perjalanannya.

Ketika Paulus tiba di Roma, ia dalam keadaan dirantai. Kisah Para Raul pada bagian penutupannya mneyatakan bahwa akhirnya Paulus mendapat kelonggaran untuk menjadi tahanan rumah di sebuah rumah sewaan. Di sana ia dapat menerima tamu dan mengajar mereka.

Menurut tradisi, Petrus pun pernah bergabung dengan gereja Roma. Meskipun kita tidak mempunyai kurun waktu yang pasti, namun kita dapat menduga bahwa dengan pimpinan kedua tokoh ini jemaat tersbut bertumbuh kuat, termasuk para bangsawan dan prajurit serta pengrajin dan pelayan.

Selama tiga decade, para pejabat Romawi beranggapan bahwa kekristenan adalah cabang agama Yahudi- - agama yang sah – dan tidak bermaksud membuat “sekte” baru agama Yahudi. Namun banyak orang Yahudi yang tersinggung karena kepercayaan baru ii mulai menyerangnya. Ini juga merupakan ancaman bagi Roma. Kelalaian Roma atas keadaan tersbeut ditunjukkan oleh laporan sejarahwan Tacitus. Dari salah satu rumah petak di Roma, ia melaporkan adanya ganguan di kalangan orang-orang Yahudi karena “chertus”. Tacitus mungkin salah dengar; orang-orang mungkin memperdebatkan tentang Christos, yang adalah Kristus.

Menjelang tahun 64 Masehi, beberapa pejabat Romawi mulai sadar bahwa kekristenan sama sekali berbeda dengan Agama Yahudi. Orang-orang Yahudi menolak orang-orang Kristen dan lebih banyak melihat kekristenan sebagai agama yang tidak sah. Jauh sebelum kebakaran kota Roma, masyarakat telah memusuhi keyakinan yang masih muda ini. Meskipun sifat Romawi ingin menerima dewa-dewa baru, namun kekristenan tidak mau mengakui kepercayaan-kepercayaan lain. Karena kekristenan menentang politeisme kekaisaran Romawi yang telah berakar; maka kekaisaran itu pun mulai membalas.

Pada tanggal 19 Juli, kebakaran berkobar di sebuah sector kumuh di Roa. Selama tujuh hari api yang tak kunjung padam itu memusnahkan perumahan yang padat. Sepuluh dari empat belas blok perumahan musnah, dan banyak penduduk yang tewas. 

Menurut legenda, Kaisar Nero sedang bermain biola ketika Roma terbakar. Banyak orang sezamannya menduga bahwa dialah yang bertanggung jab atas kebakaran tersebut. Ketika kota itu dibangun kembali dengan dana dari masyarakat, Nero mengambil sebidang tanah yang cukup luas untuk membangun istana Emasnya. Kebakaran itu merupakan jalan pintas bagi pembaharuan perkotaan.

Untuk mengelakkan tuduhan atas dirinya Kaisar itu mengkambinghitamkan orang-orang Kristen. Ia menuduh bahwa merekalah yang memicu kebakaran tersebut. Akibatnya Nero bersumpah untuk memburu dan membunuh mereka.

Gelombang pertama penganiayaan orang Romawi terhadap orang Kristen dimulai tidak lamanya setelah kebakaran itu dan berakhir sampai tahun kematian Nero, tahun 68. Dengan haus darah dan biadab, orang-orang Kristen disalibkan dan dibakar. Jasad-jasad mereka berjejer di jalan-jalan Roma, disediakan bagi pencahayaan obor. Orang-orang Kristen lainnya dikenakan pakaian hewan dan dimasukkan ke dalam kandang untuk dicabik-cabik anjing-anjing. Menurut cerita, Petrus dan Paulus mmenjadi martir akibat penyiksaan Nero. Paulus dipenggal kepalanya sedangkan Petrus disalibkan terbalik.

Penganiayaan berlangsung secara sporadic dan tetap terlokalisasi. Seorang kaisar mungkin telah memicunya dan berlanjut selama lebih kurang sepuluh tahun. Namun, masa damai akan menyusul sampai ada seorang gubernur yang memulai penganiayaan terhadap orang Kristen di wilayahnya – tentu dengan restu dari Roma. Hal semacam ini berlangsung dua setengah abad lamanya.

Tertullianus, seorang penulis Kristen abad kedua pernah berkata, “Darah para martir adalah benih Gereja”. Anehnya, setiap kali penganiayaan merebak, orang Kristen yang menjadi korban makin bertambah. Dalam suratnya yang pertama Pettrus menguatkan orang-orang Kristen untuk bertahan, percaya diri akan kemenangan kuasa Kristus yang akan diteguhkan (1 Pet. 5:8-11). Kata-katanya ini telah terbukti dengan pertumbuhan Gereja di tengah-tengah penekanan.

Posting Komentar untuk "Sejarah Kota Roma Terbakar Tahun 64 Masehi"