Renungan Kristen: The Lover Of Wisdom 1 Korintus 2:4
ITB 1 Corinthians 2:4 Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, (1 Cor. 2:4 ITB)
Satu ciri khas kota Korintus adalah kemajemukan
masyarakatnya. Kedudukannya sebagai Pelabuhan laut yang sangat strategis, karena
salah satu rute paling ramai di Laut Tengah adalah Pelabuhan Korintus. Sehingga
banyak dari berbagai etnis, budaya dan kebiasaan begitu tersebar luas di kota
ini. Di sana terdapat banyak prajurit-prajurit Roma, orang-orang mistik dari
Timur, orang-orang Yahudi dari Palestina, begitu pula para filsuf Yunani. Keberadaan
filsuf Yunani yang begitu mewarnai pemikiran orang-orang Korintus membuat
pemberitaan Injil menemui beragam respon. Berita Injil nampaknya dinilai
sebagai sebuah kebodohan bagi kaum terpelajar. Sebab mereka lebih tertarik pada
berita hikmat yang sangat popular di kalangan kota Korintus.
Kunci pemberitaan Paulus bukanlah khotbah retorika
atau sophia yang merujuk pada kualitas logika dan jangkauan pengetahuan.
Bukan juga dengan perkataan yang indah (superior), bukan juga dengan hikmat
manusia. Bukan seperti seorang orator yang harus mampu memberikan materi yang
menunjukkan pikirannya yang tajam dan pengetahuannya yang luas. Paulus juga
memberitakan Injil tidak dengan cara menyampaikan materi dengan menarik dan
memukau pendengar (1 Kor. 2:1-3).
Pernyataan Paulus di ayat ini tidak berarti bahwa dia
adalah orang yang tidak berpengetahuan atau tidak dapat menyampaikan sesuatu
dengan jelas. Khotbahnya di depan para filsuf di Atena (Kis 17:21-34)
membuktikan kehebatan pengetahuan Paulus. Festus pun mengakui kehebatan Paulus
selama dia mendengar khotbahnya. Festus berseru “Engkau gila Paulus! Ilmumu
yang banyak itu membuat engkau gila” (Kis 26:24). Yang dimaksud Paulus
di 1 Korintus 2:1 (juga 1:17) adalah bahwa dia tidak mau menjadikan semua
kriteria retorika tersebut sebagai sesuatu yang penting. Paulus memutuskan
bahwa penyampaian dengan cara beretorika bukanlah sesuatu yang penting, tetapi
Yesuslah yang menjadi pusat pemberitaan-Nya (christosentris).
Kata “menyampaikan”dalam ayat satu memiliki pengertian
mendeklarasikan atau memproklamirkan dengan tujuan seluruh public tahu berita
yang disampaikan. Paulus ingin menjelaskan kepada jemaat Korintus bahwa
sekalipun dia tidak berkhotbah di depan banyak orang seperti yang yang biasa
dilakukan orator ulung waktu itu, namun berita yang dia sampaikan di rumah atau
rumah ibadat Yahudi akhirnya tetap diketahui oleh publik dan hal ini tidak
dicapai melalui superioritas perkataan atau superioritas hikmat.
Apa yang disampaikan Paulus adalah kesaksian (martyrion)
Allah. Dalam beberapa salinan Alkitab kuno, kata yang dipakai bukan martyrion (“kesaksian”),
tetapi mystērion (“misteri”). Para penafsir modern umumnya
menganggap salinan mystērion lebih sesuai dengan naskah asli.
Editor teks Yunani yang paling modern dan terpercaya (NA27 dan
UBS4) juga berpendapat bahwa kata mystērion lebih
asli. Pendapat ini tampaknya sangat bisa diterima karena didukung oleh salinan
yang lebih tua dan sesuai dengan konteks yang ada (kata muncul lagi di 1 Korintus
2:7) Kata mystērion muncul 28 kali dalam seluruh Perjanjian
Baru, 21 di antaranya ditemukan dalam tulisan Paulus.
Dari pemunculan kata ini dapat disimpulkan bahwa mystērion merujuk
pada sesuatu yang dahulu tertutup tetapi perlahan dibuka oleh Allah seiring
dengan karya keselamatan yang dinyatakan secara progresif. Misteri sudah ada
sejak kekekalan dalam rencana Allah (2:7), tetapi realisasinya berhubungan
dengan sejarah penebusan yang dinyatakan Allah (Rom 11:25; 16:25; 1Kor 2:1, 7;
4:1; 13:2; 14:2; 15:51; Ef 1:3; 3:3, 4, 9; 5:32; 6:19; Kol 1:26, 27; Kol 2:2;
4:3; 2Tes 2:7; 1Tim 3:9, 16).
Penggunaan kata mystērion di sini
mengandung dua poin penting: (1) tujuan ilahi hanya bisa dinyatakan oleh
Allah (2:10-13; Mat 13:11, 17; Rom 16:25-26), karena itu hikmat
manusia tidak mampu menemukannya (1:21; 2:8, 14); (2) yang paling penting dalam
pemberitaan injil adalah karya Allah, bukan kefasihan bicara dan pengetahuan
pengkhotbah.
Keputusan Paulus untuk tidak memberitakan Injil dengan
cara beretorika dipertegas dengan kalimat “Aku datang kepadamu dalam kelemahan
dan dengan sangat takut dan gentar”. Perkataan maupun pemberitaan Injil tidak
disampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan atau kata-kata persuasive dalam
teks aslinya (peithois) yang lebih menekankan pada perkataan-perkataan persuasive
atau kata-kata yang memikat hati, atau perkataan yang bersifat membujuk secara
halus (supaya menjadi yakin).
Tetapi pemberitaan Paulus didasari oleh keyakinan akan
kekuatan Roh. Teks aslinya sebenarnya mengatakan bahwa Paulus menyampaikan
Injil dengan cara mendemontrasikan atau membuktikan atau menunjukkan secara
ketat melalui Roh dan Kuasa. Kata “mendemonstrasikan” ini diambil dari kata apodeixis merupakan
istilah teknis dalam dunia retorika kuno untuk merujuk pada sebuah konklusi
yang tidak terbantahkan atau proses berpikir yang luar biasa. Melalui pemakaian
kata ini Paulus ingin menegaskan bahwa ia pun memiliki bukti yang meyakinkan,
namun bukti ini bukan ditemukan pada prinsip-prinsip retorika, melainkan pada Kuasa
dan Roh (yang diterjamahkan dengan kekuatan Roh). Paulus bukan sekedar yakin,
tetapi dia sudah melihat atau membuktikan sendiri kekuatan Roh Kudus dalam
khotbahnya. Buktinya adalah adanya pertobatan yang disebabkan oleh kerja
kuasa Roh Kudus dan perubahan gaya hidup sebagai bukti kuasa yang bekerja pada
hidup orang percaya.
Tujuan dari pemberitaan Injil dengan cara menunjukkan
bukti bukan orasi adalah iman yang bergantung pada kuasa Allah (1 Kor. 2:5). Jadi
tujuan Paulus membuktikan kerja kuasa Roh adalah untuk iman jemaat Korintus
bergantung penuh pada Allah. Kata hina di awal ayat 5 menunjukkan supaya
iman jemaat tidak bergantung di dalam hikmat manusia, tetapi bergantung pada
kuasa Allah. Sehingga jemaat tidak bermegah oleh karena hikmat dunia atau
kefasihan dalam berorasi belaka, tetapi salib Kristus sungguh-sungguh menjadi dasar
kehidupan orang percaya hidup. Hidup orang percaya tidak lagi digerakkan oleh
hikmat manusia, tetapi berdasar pada anugerah Allah.
Aplikasi
Membuktikan hidup dalam pertobatan dan perubahan karakter adalah cara yang efektif dalam pemberitaan Injil. Cara mendemonstrasikan Injil bukanlah melalui orator belaka, tetapi melalui perubahan hidup. Tidak perlu bermulut manis, asal hidupmu manis dilihat, orang lain pun bisa percaya pada Kristus. Sekali lagi, seorang yang berhikmat bukanlah orang yang pandai berkata-kata dengan bahasa yang superior, tetapi seorang yang mampu membuktikan perkataannya dalam tindakan nyata. Ingat gambaran padi, semakin berisi semakin merunduk, apabila padi itu tidak merunduk, sesungguhnya padi tersebut tidakberisi. Sama halnya dengan kehidupan kita, semakin berisi makin rendah hati, tetapi semakin sombong, semakin banyak alasan, hal ini justru memperlihatkan kebodohan kita. Apabila engkau mengaku berhikmat atau pecinta hikmat, gak usah banyak omong dah, buktikan saja.
Posting Komentar untuk "Renungan Kristen: The Lover Of Wisdom 1 Korintus 2:4"