Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Keluarga Kristen | Bolehkah Orang Kristen Bercerai? (Matius 19:1-12)

A. Latar belakang orang-orang Farisi bertanya kepada Yesus mengenai alasan Perceraian (Ay. 1-3) 

Setelah Yesus selesai dengan pengajaran-Nya itu, berangkatlah Ia dari Galilea dan tiba di daerah Yudea yang di seberang sungai Yordan. Orang banyak berbondong-bondong mengikuti Dia dan Iapun menyembuhkan mereka di sana. Maka datanglah orang-orang Farisi kepada-Nya untuk mencobai Dia. Mereka bertanya: "Apakah diperbolehkan orang menceraikan isterinya dengan alasan apa saja?" (Matt. 19:1-3 ITB)

Pada saat itu Yesus memulai perjalanan-Nya ke Yerusalem dan berpindah dari Galilea bagian utara menyeberang ke Perea di dataran seberang timur sungai Yordan. Perea adalah daerah di mana Herodes Antipas memerintah. Selain itu, dalam catatan Alkitab menunjukkan bahwa Yohanes Pembaptis dibunuh di daerah Perea (Mat. 14:1-12; Mrk. 6:17-29). Ayat dua memberikan penjelasan bahwa banyak orang berbondong-bondong mengikuti Tuhan Yesus, sebab Tuhan Yesus telah menyembuhkan mereka dari sakit penyakit. 

Di tengah pelayanan-Nya, Yesus menghadapi persoalan di mana sekelompok orang Farisi melontarkan pertanyaan seputar perceraian. Matius sendiri yang pada waktu itu hadir dengan murid-murid yang lain sangat memahami situasi tersebut. Orang-orang Farisi sedang memojokkan dan mencobai Yesus dengan pertanyaan yang menjebak. Sebab pada waktu itu di daerah Perea (Galilea) ada masalah yang hangat diperbincangkan oleh seluruh masyarakat Galilea. Hal ini berkenaan dengan pernikahan Herodes Antipas (penguasa wilayah Galilea) dengan Herodias, mantan istri Filipus saudara tirinya. Herodes dan Herodias telah melepaskan pasangan masing-masing supaya mereka dapat menikah. Namun Yohanes Pembatis dengan tegas menghardik pernikahan tersebut, “Haram bagimu mengambil dia!”. Karena menentang pernikahan tersebut Yohanes Pembaptis kehilangan nyawanya, di mana kepalanya dipenggal sebagai hadiah untuk anak putrid dari Herodias (Mat. 14:1-12; Mrk. 6:17-29). 

Dalam kasus ini sesungguhnya orang-orang Farisi ingin membuat tipu muslihat dengan melibatkan Tuhan Yesus ke dalam percakapan controversial mengenai perceraian dan memaksa-Nya mengambil sikap. Hal ini sangatlah jelas bahwa harapan orang-orang Farisi adalah mendorong Tuhan Yesus untuk membuat pernyataan yang sama dengan yang dibuat oleh Yohanes Pembaptis. Sehingga Tuhan Yesus mengalami nasib yang sama dengan Yohanes Pembaptis. Jadi, motivasi orang Farisi bertanya tentang hukum perceraian kepada Tuhan Yesus adalah untuk mencobainya. Bisa dikatakan bahwa kemungkinan besar, mereka sebenarnya sudah mengetahui pokok tersebut. Hanya saja mereka berharap Tuhan Yesus menjawab salah (atau tidak sesuai Hukum Musa), sehingga mereka memiliki celah untuk mempersalahkan Tuhan Yesus. 

Selain itu. Orang-orang Farisi berharap bahwa Yesus terlibat dalam perdebatan luas di antara orang-orang Yahudi mengenai berbagai macam tafsiran yang berkembang pada masa itu. Oleh sebab itu, orang Farisi mencobai Yesus dengan bertanya, “.. Apakah diperbolehkan orang menceraikan istrinya dengan alasan apa saja?” Pertanyaan ini merupakan pertanyaan yang bercabang, di mana dapat berarti: “Apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan istrinya apa pun alasannya?” Atau dilihat dari sisi lain: “Adakah alasan yang membenarkan perceraian?”. Dalam hal ini Yeus menanggapi pertanyaan tersbut dengan menunjukkan kembali ke dalam Kitab Kejadian tentang maksud dan tujuan Allah menciptakan pernikahan. Dalam kitab tersebut terdapat jawaban tepat tentang perceraian. Yesus mula-mula mengutip Kejadian 1:27, setelah itu mengutip Kejadian 2:24. 

Dari jawaban Yesus kepada orang-orang Farisi, kita melihat jawaban yang benar berkenaan hubungan pernikahan dewasa ini dan berbagai masalah yang ada di dalam memahamu dan mendalami karya kreatif Allah sebagimana dijelaskan di dalam kitab Kejadian.

B. Rencana Semula bagi Pernikahan (Mat. 19:4-5; Kej. 1:27; 2:24) 

 4Jawab Yesus: "Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? 5Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. 6Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” (Matt. 19:4-6 ITB)

Bagian pertama dari ayat empat perkataan Yesus sama persis dengan teks Kejadian 1:27. Penulis kitab Kejadian yaitu Musa menuliskan nas ini untuk memberikan penjelasan kepada bangsa Israel bahwa sejak semula Allah merancangkan pernikahn yang baik. Namun pemahaman ini tidak dimiliki bangsa Israel yang “kurang” menghargai pernikahan (sering melakukan praktik perceraian). Sehingga Musa merasa perlu untuk memberikan pemahaman yang benar tentang pernikahan. Seperti yang dikemukakan oleh Pauline A. Viviano bahwa, sesungguhnya ayat ini dimaksudkan oleh penulis adalah untuk mempertanggungjawabkan hubungan pernikahan, sebagaimana ditunjukkan oleh ayat 24. Dengan mengutip teks tersebut Yesus menegaskan bahwa Allah adalah “Pencipta” manusia dan dari semula manusia secara khusus diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan. Keduanya memiliki pribadi yang yang berbeda dan karakteristik yang berbeda, sebagai karya kreatif Allah dengan makna yang terkandung secara penuh dalam kitab Kejadian. 

Matthew Henry dalam memberikan penjelasan berkenaan ayat yang dikutip oleh Tuhan Yesus, di mana Henry mengatakan: 

“Perhatikanlah mengenai penciptaan manusia! Tuhan menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, satu wanita untuk satu laki-laki, supaya Adam tidak dapat menceraikan Hawa dan mengawini wanita lain, karena memang tidak ada wanita lain. Hal ini juga menyiratkan adanya ikatan yang tidak terpisahkan di antara mereka. Hawa diambil dari sepotong tulang rusuk Adam sendiri. Jadi, kalau ia menceraikan Hawa, itu berarti dia membuang bagian tubuhnya sendiri dan menentang maksud penciptaan Hawa. Walaupun Kristus hanya menyinggung hal ini sekilas saja, Ia berusaha menghubungkan pengetahuan kaum Farisi itu dengan kutipan langsung dari Kitab Suci mengenai hal tersebut, dengan menekankan bahwa, walaupun semua mahkluk hidup diciptakan secara berpasang-pasangan, hanya pada manusialah ditemukan adanya ikatan pernikahaan antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan atas akal budi, yang dimaksudkan untuk tujuan yang jauh lebih mulia daripada hanya sekadar memuaskan hawa nafsu dan mempertahankan keturunan. Oleh karena itu, ikatan di antara laki-laki dan perempuan, seperti halnya ikatan di antara Adam dan Hawa, lebih dalam dan kuat dibandingkan dengan hewan yang tidak berakal budi. Karena itu, dalam Kitab Suci ikatan ini diungkapkan secara khusus dalam Kejadian 1:27:  “Menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”. Di sini kata “dia” dan “mereka” tidak digunakan untuk hanya satu jenis kelamin saja, tetapi kedua-duanya. Mereka diciptakan satu, sebelum menjadi dua, dan menjadi satu kembali lewat janji pernikahan. Kesatuan itu selalu sangat dekat dan tidak mungkin dapat terceraikan”.

Dengan demikian Allah melihat bahwa semua yang diciptakan-Nya “sungguh amat baik”. Dalam hal ini termasuk seksualitas laki-laki dan perempuan, di mana aktifitas seksual dan kemampuan serta kebutuhan seksual manusia adalah kehendak Allah atas manusia. Seksualitas adalah bagian dari karunia Allah kepada manusia dan sesnungguhnya merupakan bagian penting dalam kehidupan sebagai manusia. 

Ayat lima Yesus mengutip teks kedua yaitu dalam Kejadian 2:24: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging”. Bagian dalam pernikahan dalam kitab Kejadian terletak antara dua nas yang Yesus kutip, di mana hal ini adalah bagian detail dari penciptaan Adam dan Hawa. Kemudian mulailah Allah membawa kepada Adam suatu kelanjutan, “tidaklah baik jika manusia (Adam) itu seorang diri saja (Kej. 2:18-19). Allah membuat Adam tidur nyenyak dan dari sala satu rusuk Adam, Allah membuat seorang perempuan. Jadi, perempuan diambil dari tulung rusuk laki-laki, yang menunjukkan bahwa laki-laki tidak lengkap tanpa perempuan dan sebaliknya perempuan tidak lengkap tanpa laki-laki. Lalu Allah mengaruniakan kepada laki-laki seorang perempuan. Kebenaran ini menunjukan bahwa seorang istri adalah karunia dari Allah atau pemberian yang diberikan Allah kepada laki-laki. 

Adam menerima Hawa sebagai karunia atau anugerah yang diberikan Allah, seseorang yang mendapat tempat atau bagian dalam kehidupannya: “inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku” (Kej. 2:23). Menurut Matthew Henry bahwa maksud Tuhan menciptakan perempuan dari tulang rusuk Adam adalah supaya Adam bisa menghargai, mengasihi dan memperlakukan isterinya dengan baik; begitu juga sebaliknya Hawa bisa menghormati Adam.

Yesus mengaitkan nas Kejadian 2:24 untuk menunjukkan bahwa Allah telah menjadikan perempuan untuk menjadi penolong dan teman dalam hidupnya. Kedudukan seorang perempuan adalah untuk menolong suaminya. Dalam bahasa Ibrani secara harfiah, perempuan adalah “penolong yang tepat baginya”. Dalam Perjanjian Lama penolong berarti seseorang yang memberi dukungan atau kekuatan, seseorang yang memungkinkan orang lain mencapai tujuannya. Perempuan dimaksudkan untuk menjadi tempat di mana laki-laki memperoleh dukungan dan kekuatan, sekalipun manusia dan binatang sama-sama makhluk hidup, namun rupanya binatang tidak bisa menjadi penolong yang sepadan. Hal ini jelas terbukti bahwa laki-laki akan meningggalkan ayah dan ibunya untuk bersatu dengan istrinya menjadi satu daging. 

Dalam konteks Kejadian 2 kata penghubung “sebab itu” yang dipakai pada permulaan ayat 24 menunjuk kembali kenyataan bahwa perempuan diciptakan sebagai teman yang sepadan untuk laki-laki. Kesepadanan inilah yang membuat seorang laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan istrinya. Tetapi dalam teks yang ada dalam Matius 19:4 kata “sebab itu” penekanan yang berbeda, di mana ayat sebelumnya menunjuk pada penciptaan laki-laki dan perempuan. Penjelasan ini memberikan dasar tentang kebersatuan laki-laki dan perempuan; bukan hanya sebagai teman dan sahabat serta demi kepentingan tolong–menolong. Tetapi merupakan sebuah aspek dari pemenuhan secara fisik laki-aki dan perempuan. 

Akan tetapi perihal pernikahan itu menjadi semakin jelas dalam ayat 24 dan 25. Oleh karena prinsip atau substansi sebuah pernikahan Kristen dipertegas Musa dalam kedua ayat ini. Namun dalam hal ini, ayat 24, khususnya dalam frasa: “…sehingga keduanya menjadi satu daging”. Bukankah sebelumnya Adam sudah mengatakan: “…inilah dia daging dari dagingku…”. Jadi, Hawa berasal dari daging Adam, kemudian dipersatukan kembali menjadi satu daging. Menunjuk kepada relasi pernikahan dalam sebuah keintiman, melebihi relasi dengan sesama yang lain. Hal ini dibuktikan dari frasa sebelumnya, yakni: “…laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya..”. Artinya, relasi dalam pernikahan melebihi relasi orangtua dan anak. Tim Penyusun Tafsiran Alkitab Masa Kini juga memberikan komentar terhadap hal ini, yakni: “mereka menjadi satu daging dalam arti yang baru, karena Allah telah mempersatukan mereka dalam pernikahan (bnd. Mat. 19: 4-5).

Wayne Grudem dalam buku Teologi Sistematikanya juga menyinggung tentang hakikat dari sebuah pernikahan Kristen. Grudem memberikan interpretasinya berdasarkan pemahamannya terhadap Kejadian 2: 21-25. Grudem mengatakan bahwa, “between husband and wife is not temporary but lifelong (Mal. 2:14–16; Rom. 7:2), and it is not trivial but is a profound relationship created by God in order to picture the relationship between Christ and his church (Eph. 5:23–32)”. Terjemahan: “antara suami dan istri tidak bersifat sementara tetapi seumur hidup (Mal. 2: 14–16; Rom 7: 2), dan itu tidak sepele tetapi merupakan hubungan mendalam yang diciptakan oleh Allah untuk menggambarkan hubungan antara Kristus dan gereja-Nya (Ef. 5:22-32 ). Jadi menurut Grudem, pernikahan harus berlangsung seumur hidup, tidak boleh ada perceraian. Oleh karena Tuhan menciptakan pernikahan untuk menggambarkan hubungan Kristus dengan gereja-Nya.

Dari hasil penafsiran terhadap Kejadian 2: 21-25 menunjukkan bahwa pernikahan menggambarkan relasi yang intim dan kudus. Yang mana di dalamnya diikat dengan kasih (perempuan diambil tulang rusuk laki-laki) dan diperuntukkan hanya untuk dua orang saja, yakni hanya untuk seorang perempuan dan juga seorang laki-laki, tidak boleh lebih. Ajaran ini sekaligus menolak poligami dan perceraian. Inilah substansi dari pernikahan Kristen. Selain itu, dari komentar-komentar di atas bahwa pernikahan juga menjadi gambaran konkret relasi Kristus dengan gereja-Nya. Setidaknya prinsip ini juga penting untuk menolong memahami maksud pengajaran Tuhan Yesus tentang pernikahan dalam Matius 19: 1-12. Oleh karena dalam Matius 19: 4-6, Tuhan Yesus justru mengutip Kejadian 2 ini. Kalau sebuah pernikahan menggambarkan hubungan Kristus dengan gereja-Nya, apakah praktik perceraian dalam pernikahan diperbolehkan? Menurut penulis, pastilah praktik semacam itu Tuhan tidak pernah inginkan terjadi.

1. Bersatu dengan istri (ay. 5a)

Perhatikan kata “bersatu” dalam teks ini diambil dari kata προσκολληθήσεται (proskollethesetai) verb indicative future passive 3rd person singular from προσκολλάω (proskollao) yang berarti “..sungguh-sungguh akan dipersatukan kepada”. Artinya seoarang suami akan memiliki keterikatan dengan istrinya, pada saat mereka bersatu. Kata προσκολληθήσεται (proskollethesetai) memiliki anak kalimat yang berasal dari bahasa yunani κολληθήσεται (kollethesetai) yang berarti: “sungguh-sungguh direkatkan atau diperkokoh bersama, ditatah bersama atau dilas bersama”, hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kekuatan yang paling tinggi dalam sebuah hubungan kedekatan dan pelekatan. 

Kata κολληθήσεται (kollethesetai) dipakai dalam Perjanjian Baru memiliki tiga pengertian yaitu: menyangkut fisik , yakni hubungan seksual; menyangkut social, yakni hubungankemasyarakatan (bergabung dalam kelompok masyarakatatau berteman dengan seseorang , dll); dan menyangkut hubungan kerohanian (contohnyaa: bersatu dengan Tuhan, 1 Kor. 6:17). Dalam teks Matius 19: 5 menunjukkan bahwa kesatuan antara suami dan istri dirancang Allah dalam tiga level yaitu: 

Level fisik, di mna hubungan seksual jelas dikatakan dalam nas di atas. Yesus mengutip kitab Kejadian yang menunjuk kepada Allah menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan, yang kemudian menjadi “satu daging”. Kata “dipersatukan  bersama” mengacu kepada keseluruhan segi fisik pernikahan. Hubungan seksual ini berkelanjutan dari pasangan itu seperti sebuah perekat, yang menyatukan pasangan itu dan memperdalam pengaruhnya dalam seluruh aspek kehidupan pernikahan.

Level social, yakni level peresekutuan persahabatan yang juga tersirat dalam nas ini karena justru inilah pokok utama yang ada dalam konteks asli kitab Kejadian yang dikutip Yesus. Level social ini tersirat dalam pengertian yang lebih luas tentang identitas kesejatian laki-laki dan perempuan, di mana hubungan sebuah keluarga adalah merupakan unit social inti, atau unit dasar dari kehidupan bermasyarakat (Ada suami , istri dan anak-anak).

Level kerohanian, hal ini mengacu kepada Allah yang memprakarsai sebuah hubungan pernikahan. Dalam ayat lima memberikan pengertian bahwa kata kerja pasif dari kata “dipersatukan” menunjukkan bahwa ada pribadi yang menyatukan yaitu Allah sendiri. inilah karya Kreatif Allah dalam hubungannya dengan ciptaan-Nya (khususnya manusia).

2. Menjadi satu daging (ay. 5b-6a)

Bagian akhir dari kita kjeadian 2:24 dikuti Kristus untuk menekankan kesatuan (oneness) laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil dari penyatuan bersama. Frase dalam ayat lima mengatakan: “keduanya menjadi satu daging” dan selanjutnya Yesus mengatakan: “dengan demikian mereka bukan lagi dua melainkan satu”. Sekali lagi ayat ini hendak menunjukkan tentang kesatuan seksualitas. Kata “satu” dalam bahaya Yunanni memakai kata μίαν (mian) dari kata εἷς (eis) yang berarti: kesatuan dari pribadi yang terpisah; satu kesatuan (unity). Kata dasar dari kata μίαν (mian) adalah εἷς (eis) yang berarti “ke dalam”, sehingga dapat diartikan “keduanya akan masuk (atau menjadi) ke dalam satu daging”. Inilah tujuan dari sebuah pernikahan. Namun dalam teks Kejadian 2:24 tidak hanya menunjukan kepada hubungan seksual saja, melainkan secara keselurahan hidup. 

Dalam pengertian orang Yahudi segi fisik manusia menunjukkan pribadi manusia secara utuh, baik jiwa maupun raga, pikiran, emosi, dan kehendak. Oleh sebab itu Tuhan Yesus mengatakan “keduanya menjadi satu daging” dan “mereka bukan lagi dua, tetapi satu”. Jadi sesungguhnya komitmen dalam pernikahan tidak hanya dipengaruhi karena hubungan fisik secara seksual, tetapi komitmen untuk menyatukan segala pikiran, kehendak dan perasaan ke dalam hubungan pernikahan. 

3. Apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia (ay. 6b)

Perhatikan ayat 6b kembali menunjukkan bahwa Allah adalah perancang atau yang memprakarsai sebuah pernikahan. Yesus tidak fokus kepada manusia atau orangnya. Yesus mengatakan: “Apa yang dipersatukan Allah..” bukan “Siapa yang dipersatukan Allah..”. Kata “dipersatukan” dalam ayat ini tidak sama dengan kata “dipersatukan” di ayat sebelumnya. Kata “dipersatukan” memakai kata συνέζευξεν, (sunezeuxen) verb indicative aorist active 3rd person singular from συζεύγνυμι (suzeugnumi) yang berarti: “sungguh-sungguh dipersatukan bersama dalam sebuah pernikahan”. Namun secara literal kata ini berarti: “sungguh-sungguh disatukan bersama-sama dalam sebuah kuk”. Atau “bersama dalam kuk yang sama yang telah diciptakan bagi mereka”. Sebuah kuk memampukan dua ekor lembu menarik beban bersma, masing-masing saling berbagi tugas sehingga konsekuensinya adalah meringankan tugas dan keduanya bersma dapat menyelesaikan tugas lebih banyak dari apa yang dapat dicapai apabila mereka sendirian mengerjakannya. 

Dalam teks ini Yesus menggambarkan pernikahan sebagai sebuah kuk yang Allah buat. Seorang laki-laki dengan seorang perempuan dapat memikulnya bersama, sehingga mereka dapat meringankan pekerjaan-pekerjaan dan beban-beban kehidupan, dan mencapai tujuan bersama-sama yang tidak bisa dicapai sendirian. Allah merancangkan pernikahan sebagi sebuah hubungan yang bermanfaat untuk memperkaya manusia. Karena itu “Apa yang dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia”. 

Sebuah “kuk” seharusnya diambil oleh kedua orang yang ingin dipersatukan dalam pernikahan (pernikahan laki-laki dan perempuan). Kuk ini akan menjadi sebuah komitmen yang didasari oleh kehendak Allah untuk keduanya bersama-sama berbagi, bersama-sama memikul tanggung jawab dan kewajiban, beban hidup, dan bersama-sama memasuki satu ikatan hubungan yang eksklusif, stabil dan permanen. 

Hakikat dasar sebuah pernikahan adalah sebagai pengikat hubungan anatara dua orang yang berkelanjutan dan bergantung penuh kepada masing-masing pribadi. Hubungan ini harus berlangsung terus-menerus yang menyumbangkan arti dari sebuah ikatan. Inilah yang harus mereka kerjakan dalam menggenapkan rencana Allah yang permanen. Oleh sebab itu, hubungan pernikahan harus dipelihara dan dijaga, dikembangkan serta diperkuat. 

Kata “manusia” di sini memakai kata ἄνθρωπος (anthropos) yang berarti manusia. Alkitab mencatat tidak memakai bentuk identitas satu pribadi, tetapi dua pribadi yaitu “laki-laki” dan “perempuan”. Jadi bukan suami atau istri yang dapat merusak ikatan pernikahan, suami maupun istri memiliki kemampuan yang sama untuk merusak pernikahan. Dan mungkin banyak dari orang ketiga yang terlibat dalam sebuah perceraian. 

Perlu diperhatikan dengan seksama Yesus tidak pernah menghendaki perceraian. Kata “diceraikan” diambil dari kata μὴ χωριζέτω. (khorizeto) verb imperative present active 3rd person singular from χωρίζω (khorizo) yang berarti: membagi, memisahkan, memotong, membelah, memecah, mematahkan. Kata ini merupakan sebuah perintah yang memiliki tense present. Jadi secara harafiah: “dengan tegas tidak boleh bercerai”, di mana seseorang dengan tegas diperintahkan untuk tidak boleh menceraikan istrinya. Ini adalah perintah yang harus terus-menerus dijalankan (tidak boleh menceraikan istrinya). 

Pengertian di atas mengadung makna yang dalam, di mana perceraian yang dimaksud pada ayat 6b adalah bukan hanya mengacu kepada perceraian secara legal atau formal. Sebenarnya, suatu perceraian adalah pelanggaran mutlak dari rencana Allah dalam hubungan pernikahan. Pernikahan harus memiliki sebuah relasi fisik (seksual), relasi jiwa (keakraban sebagai sahabat), relasi rohani (berkenaan tujuan Allah dalam pernikahan). Apabila tidak ada ketiga hubungan di atas maka dapat dikatakan bahwa manusia telah memisahkan hubungan yang diprakarsai oleh Allah. Oleh sebab itu setiap pemisahan adalah bertentangan dengan kehendak Allah dan ini adalah sebuah dosa.

Keutuhan adalah rencana Allah dalam sebuah hubungan pernikahan. Yesus secara mutlak menjelaskan bahwa Allah “Sang Pencipta” pernikahan. Fokusnya adalah bukan kepada peraturan manusia tetapi kehendak Allah yang berdaulat dalam kehidupan manusia. Jadi sekali lagi “Apa yang dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia”. Blomberg menjelaskan, “…God wants all marriage to be permanent..”. Artinya, Tuhan tidak menginginkan perceraian. Karena pernikahan juga adalah sebuah covenant. Sebuah covenant tidak boleh dilanggar, dan barangsiapa yang melanggarnya pasti akan mati.

C. Sanggahan Tuhan Yesus tentang “perceraian” (Mat. 7-9)

Kata mereka kepada-Nya: "Jika demikian, apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan isterinya?" 8 Kata Yesus kepada mereka: "Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. 9Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah." (Matt. 19:7-9 ITB)

Dalam teks ini orang-orang Farisi mempertanyakan mengenai alasan perceraian. Sebenarnya dalam ayat ini Tuhan Yesus tetap memberikan penjelasan bahwa pernikahan haruslah sesuai dengan rencana Allah. Pernikahan merupakan suatu hubungan yang dalam dan intim antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, sebagai teman hidup, saling-menolong, dan pemenuhan hasrat seksual. Pernikahan adalah sebuah hubungan total, eksklusif, dan sepanjang hidup. 

Tetapi pada ayat ini orang-orang Farisi mendesak Yesus dan mempersoalkan hukum Musa tentang perceraian. Orang-orang Farisi keberatan dengan pandangan Yesus terhadap persoalan perceraian. Mereka berkata “Apakah sebabnya Musa memerintahkan untuk memberikan surat cerai jika orang menceraikan istrinya??”. Apabila diperhatikan dari teks Ulangan 24:1-4 menunjukan bahwa orang Farisi sedang membuat pertanyaan lain berkenaan tentang Ulangan 24:1-4:

“Apabila seseorang mengambil seorang perempuan dan menjadi suaminya, dan jika kemudian ia tidak menyukai lagi perempuan itu, sebab didapatinya yang tidak senonoh padanya, lalu ia menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu, sesudah itu menyuruh dia pergi dari rumahnya, dan jika perempuan itu keluar dari rumahnya dan pergi dari sana, lalu menjadi isteri orang lain, dan jika laki-laki yang kemudian ini tidak cinta lagi kepadanya, lalu menulis surat cerai dan menyerahkannya ke tangan perempuan itu serta menyuruh dia pergi dari rumahnya, atau jika laki-laki yang kemudian mengambil dia menjadi isterinya itu mati, maka suaminya yang pertama, yang telah menyuruh dia pergi itu, tidak boleh mengambil dia kembali menjadi isterinya, setelah perempuan itu dicemari; sebab hal itu adalah kekejian di hadapan TUHAN. Janganlah engkau mendatangkan dosa atas negeri yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu. (Ul. 24:1-4). 

Orang-orang Yahudi memberikan argument berkenaan tafsiran tentang alasan perceraian yang tertuang dalam Hukum Taurat (Ul. 24:1-4). Memang pada masa itu banyak perbedaan pendapat tentang berbagai mazhab yang di antara orang-orang Yahudi. Perbedaan pendapat ini adalah antara Rabi Shammai dan Rabi Hillel. Mereka adalah dua Rabi Yahudi yang bertentangan pendapat tentang syarat perceraian yang mereka tafsirkan dari Ul 24:1-4. Rabi Shammai berpendapat bahwa kata-kata “yang tidak senonoh” dalam Ulangan 24:1 menunjuk pada perzinahan. Jadi ia berkata bahwa hanya kalau terjadi perzinahan maka perceraian diijinkan. Sedangkang, Rabi Hillel menyoroti kata-kata “ia tidak menyukai lagi perempuan itu” dalam Ulangan 24:1 dan lalu menafsirkan bahwa segala tindakan istri yang tidak menyenangkan suami boleh dijadikan alasan untuk menceraikan istri (termasuk tindakan yang remeh seperti menggosongkan makanan waktu masak, bicara terlalu keras sehingga terdengar oleh tetangga dsb). Kedua pendapat ini menunjukkan bahwa pandangan Hillel lebih banyak diterima, khususnya oleh orang laki-laki, dari pada pandangan Shammai. 

Mengapa Musa berbicara bahwa suami bisa memberikan surat cerai kepada isterinya yang telah berbuat tidak senonoh atau telah berzinah? Bagaimanakah Hukum Tuhan berbicara tentang seorang isteri yang berzinah? Dalam Ulangan 22: 20-21 mendeskripsikan hal tersebut, di mana seorang isteri yang kedapatan telah berzinah maka perempuan tersebut haruslah dibawa ke depan pintu rumah ayahnya, dan orang-orang satu kota datang untuk melemparinya dengan batu sampai mati. Oleh karena kejahatan tidak boleh ada di tengah-tengah umat Tuhan. Jadi tanpa diceraikan pun isteri juga tetap akan mati atau dengan kata lain, tetap akan berpisah dengan suaminya. Bahkan Tuhan Yesus dalam Matius 19:8 justru tidak mempersalahkan Musa, sebaliknya mempersalahkan orang-orang Farisi (baca: bangsa Israel) (band. Mrk. 10:5). Oleh karena pada dasarnya Hukum Musa tidak memperbolehkan praktik perceraian, akan tetapi orang Israel memiliki kedegilan hati sehingga praktik seperti itu terus berlangsung. Jadi, praktik perceraian yang terjadi dalam masyarakat Israel waktu itu, tidak berdasarkan Hukum Musa yang berasal dari Tuhan, tetapi merupakan konvensional manusia, sehingga akhirnya Musa melegalkannya. 

Dalam Matius 5:31, Tuhan Yesus juga mengutip perkataan Musa dalam Ulangan 24: 1-4; yang sekali lagi berkata tentang surat cerai. Matthew Henry memberikan interpretasi kepada ayat ini, sebagai berikut: 

“Telah difirmankan (Kristus tidak berkata seperti semula, “Kamu telah mendengar pula yang difirmankan kepada nenek moyang kita,” sebab ini bukanlah sebuah peraturan seperti perintah-perintah lainnya, sekalipun orang Farisi memahami demikian (Mat.19:7), melainkan hanyalah suatu izin). Siapa yang menceraikan isterinya harus memberi surat cerai kepadanya, jangan biarkan dia melakukannya secara lisan ketika ia sedang bernafsu, tetapi biarlah ia melakukannya dengan sengaja, melalui sarana tertulis yang sah, dan ditegaskan oleh beberapa saksi. Bila ia hendak membubarkan ikatan pernikahan itu, biarlah ia melakukannya dengan sungguh. Dengan demikian Hukum Taurat telah mencegah terjadinya perceraian yang gegabah dan terburu-buru.”

Dari uraian Matthew Henry di atas, minimal ada dua hal yang perlu digaris bawahi, yakni: (1) perceraian bukanlah peraturan dari Hukum Taurat, melainkan hanya sebatas izin, dan orang Farisi tahu akan hal itu; dan (2) dengan terbitnya surat cerai yang merupakan izin saja, sebenarnya secara tidak langsung bertujuan untuk membuat pasangan suami-isteri yang hendak bercerai kembali berpikir ulang, karena pasti memakan waktu.  Meskipun dalam penekanan yang berbeda tentang surat cerai, J.J. de Heer memberikan komentar yang sama dengan Matthew Henry (khususnya no. 2 dalam komentar penulis) dengan berkata:

“Tujuan Surat Cerai dalam Perjanjian Lama tentulah supaya merupakan perlindungan untuk wanita dalam pernikahan. Membuat suatu surat pada masa dulu merupakan pekerjaan memakan banyak waktu. Jadi jikalau suami harus membuat surat cerai, maka perceraian itu tidak mungkin diadakan dalam emosi dalam beberapa detik saja. Apalagi surat cerai memberi status yang jelas kepada wanita itu. Tambahan pula dikatakan dalam Ulangan 24: 1 bahwa surat cerai hanya boleh dibuat kalau suami mendapati “apa yang tidak senonoh pada isterinya”. Pada zaman Tuhan Yesus, Rabi Syammai dan murid-muridnya menafsirkan “apa-apa yang tidak senonoh” sebagai perzinahan, dan hanya mengizinkan seorang laki-laki untuk menceraikan isterinya apabila ia mendapati isterinya telah berzinah….murid-murid Rabi Hillel yang berpendapat bahwa misalnya kekurangan dalam hal memasak  makanan sudah dianggap sebagai ‘hal yang tidak senonoh’ dan sebagai alasan untuk perceraian”.

Dalam komentar J. J. de Heer lebih menekankan bahwa justru surat cerai itu diterbitkan oleh Musa guna melindungi perempuan dalam sebuah pernikahan. Supaya suami tidak bersikap semena-mena menceraikan isterinya. Bahkan membuat suami harus berpikir “dua kali” sebelum memutuskan untuk menceraikan isterinya. Selain itu, dengan adanya surat cerai juga memberikan kejelasan untuk status setiap isteri yang telah bercerai. Meskipun legalitas ini tidak sesuai dengan kehendak Tuhan tentang pernikahan (band. substansi pernikahan dalam Kej. 2), akan tetapi setidaknya ini bisa meminimalisir masalah sosial dalam masyarakat Israel. Meskipun demikian, interpretasi terhadap surat cerai ini ternyata tidak seragam. Berdasarkan frasa dalam Ulangan 24:1 yang berbunyi: “apa yang tidak senonoh” memunculkan minimal dua penafsiran. Akan tetapi penafsiran dari Rabi Hillel-lah yang kemudian banyak menimbulkan kekeliruan, oleh karena pada akhirnya suami-suami dari bangsa Israel bisa menceraikan isterinya hanya berdasarkan alasan-alasan yang sepeleh, bukan karena perzinahan.

Menurut J. J. de Heer, inilah yang melatarbelakangi Tuhan Yesus berkata dalam ayat 32, dengan kembali mengutip Ulangan 24, Yesus menegaskan bahwa setiap laki-laki dianggap bersalah apabila menceraikan isterinya, kecuali karena zinah. Menurut J. J. de Heer, dalam hal ini Tuhan Yesus sedang melindungi wanita dalam pernikahan.

Menurut Hilda Bright dalam tafsirannya bahwa melalui frasa dalam ayat 31 dan 32 ini, Tuhan Yesus sebenarnya memberikan kritikan yang keras kepada kebiasaan laki-laki kebangsaan Romawi dan Yunani yang dengan mudah untuk menceraikan isterinya. Hilda Brigth juga mengutip Maleakhi 2: 16a yang berbunyi: “Sebab Aku benci perceraian….”. Menurut J. J. de Heer, “Tuhan Yesus tidak mengatakan bahwa seorang isteri yang berzinah harus diceraikan; selalu baik kalau seorang suami yang isterinya jatuh ke dalam dosa memeriksa diri apakah mungkin ia turut bersalah, sebab telah kurang memelihara hubungan yang baik dengan isterinya”. Jadi, sekali lagi memang perceraian bukanlah sebuah perintah yang harus atau wajib dilakukan, oleh karena bukanlah sebuah kewajiban. Hal ini juga menjadi jelas dalam ayat 32, di mana suami atau isteri yang telah bercerai, ketika menjalin hubungan dengan orang lain maka dia telah berzinah. Berdasarkan frasa: “…dan siapa yang kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah”, maka dapat memberikan sebuah pemahaman bahwa Tuhan tetap tidak melegalkan sebuah perceraian meskipun telah mendapat legalitas dari hukum Musa melalui surat cerai. Mengapa? Oleh karena dalam frasa di atas jelas bahwa isteri tersebut tetap dianggap melakukan zinah. Hal yang tidak bisa dituduhkan kepada pasangan suami-isteri yang sah dalam sebuah pernikahan apabila melakukan hubungan seksual.

Aplikasi ideal dari radikal ini adalah suatu masyarakat terhormat yang mana menceraikan ketika kehendak normal yang tak bisa diacuhkan menaikkan permasalahan kepastoran serius, dan akan meminta kepekaan besar. Tetapi permasalahan tidaklah untuk dilepaskan oleh kekurangan untuk mengambil dengan serius Deklarasi Kemutlakan Jesus “kehendak Tuhan adalah pernikahan yang tak putus-putus”  hingga kematian memisahkan. Meskipun seolah-olah Hukum Musa memperbolehkan seorang suami untuk menceraikan apabila isteri kedapatan telah berzinah, akan tetapi bukankah Yesus Kristus berulangkali menyebutkan bahwa pernikahan harus dijalani hingga mati, maksudnya tidak boleh bercerai.

Sedangkan Leon Morris berpendapat bahwa, “ajaran Yesus memberikan keadilan kepada laki-laki maupun perempuan dalam hal perzinahan. Meskipun bagi tradisi Yahudi yang sedikit mendiskriminasi kaum perempuan. Tuhan Yesus telah memberikan standar yang sama tingginya kepada laki-laki maupun perempuan, sehingga perceraian bisa saja terjadi meskipun bukan itu yang diinginkan (dimaksudkan) oleh Tuhan. Karena dalam pandangan Kristen, pernikahan adalah seumur hidup”. 

Ayat sembilan dalam perikop ini menjadi klimaks dari ketegangan tentang boleh-tidaknya praktik perceraian dalam kalangan orang Kristen. Meskipun dari penjelasan panjang-lebar di atas, tidak membolehkan praktik semacam itu, namun kuncinya ada pada tafsiran terhadap ayat 9 ini. Perhatikan ayat di bawah ini:

“Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah.” (Mat.19:9)

“Lalu kata-Nya kepada mereka: Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu” (Mrk. 10:11)

“Setiap orang yang menceraikan isterinya, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah, dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan suaminya, ia berbuat zinah.” (Luk. 16:18)

Berdasarkan ayat di atas, hanya Matius yang mencantumkan frasa, “…kecuali karena zinah…”. Sedangkan Markus dan Lukas tidak mencantumkannya. Di sinilah konteks menjadi sangat penting untuk menafsirkan ayat ini. Donald Guthrie mengatakan, “..Matius adalah seorang Yahudi yang menulis bagi orang Yahudi”. Jadi, mengapa hanya Matius yang mencantumkan frasa, “…kecuali karena zinah…” oleh karena yang paham akan frasa ini hanya orang Yahudi. Sedangkan Markus dan Lukas ditujukan kepada orang Kristen pada umumnya (termasuk non-Yahudi)  yang tidak begitu paham tentang Hukum Musa. William Barclay memberikan pendapatnya tentang ayat ini, sebagai berikut:

“…bahwa Yesus pasti tahu kalau menurut hukum non-Yahudi seorang perempuan dapat menceraikan suaminya, dan dalam hal ini sesungguhnya Yesus melihat jauh ke luar dunia Yahudi. Kesulitan yang besar adalah bahwa baik Markus atau Lukas mencantumkan larangan perceraian sebagai hal yang mutlak. Menurut mereka, hal itu tidak dapat dibenarkan, apa pun alasannya. Sedangkan Matius menyelipkan sebuah katup pengaman yaitu perceraian diizinkan atas alasan  perzinahan. Dalam kasus ini, tidak ada jalan keluar yang sesungguhnya untuk mengambil keputusan. Satu-satunya jalan keluar yang mungkin adalah mengatakan bahwa dalam kenyataannya, menurut hukum Yahudi, perceraian karena zinah adalah kewajiban dan karena itu Markus dan Lukas tidak memandang perlu untuk menyebutkannya.”

Dapat disimpulkan bahwa, hukum perceraian itu hanya berlaku dalam hukum orang Yahudi, sebaliknya tidak berlaku untuk orang Kristen. Meskipun demikian, itu diizinkan hanya untuk kasus perzinahan, tidak diberlakukan untuk kasus-kasus yang lain (seperti yang dipahami oleh Rabi Hillel dan pengikutnya). Apabila membaca jawaban Tuhan Yesus kepada orang Farisi dalam ayat sebelumnya, di situ menjelaskan bahwa, Musa mengizinkan perceraian karena zinah terjadi karena ketegaran hati bangsa Israel. 

Menurut Osborne, justru melalui ayat 9 ini Tuhan Yesus hendak mengajarkan sebuah pandangan yang baru dan berbeda dengan pandangan Yahudi tentang pernikahan. Penegasannya bahwa pernikahan merupakan sebuah ikatan perjanjian yang ditahbiskan – sehingga prkatik perceraian yang selama ini dilakukan oleh masyarakat Yahudi ditolak oleh Tuhan Yesus. Osborne menambahkan, “divorce is never part of God’s will….. However, this does not mean divorce is God’s will, just that God allows it in accord with the sinfulness of human nature”. Terjemahan: “perceraian tidak pernah menjadi bagian dari kehendak Tuhan, namun, ini tidak berarti perceraian adalah kehendak Tuhan, hanya saja Tuhan mengijinkannya sesuai dengan keberdosaan sifat manusia”. Jadi, perceraian tidak pernah dikehendaki oleh Tuhan, sebaliknya itu terjadi justru karena natur manusia yang telah berdosa.

Dalam bahasa Yunani frase “kecuali karena zinah” diambil dari μὴ ἐπὶ πορνεία (me epi porneia) yang memiliki pengertian “..tidak untuk porneia (zinah)”. Apabila diterjemahkan bebas: “barangsiapa menceraikan istrinya, dengan tujuan berbuat zinah (tidak untuk zinah), lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah”. Hal ini menunjukkan dari pihak laki-laki yang menceraikan istrinya karena menginginkan atau ingin menikah kembali dengan perempuan lain, bukan karena perbuatan zinah istrinya. Inilah yang ditegur dengan keras oleh Tuhan Yesus yaitu praktik perceraian seperti ini.

Dalam buku Osborne, mengutip pendapat William A. Heth dan Gordon J. Wenham yang mengatakan, “except for immorality” atau dalam bahasa Yunani μὴ ἐπὶ πορνεία (me epi porneia) hanya memodifikasi klausa sebelumnya daripada seluruh klausa sehingga memungkinkan perceraian tetapi tidak menikah kembali ”. Maksudnya, frasa ini hanyalah sebuah anak kalimat yang justru lebih menjelaskan pernikahan kembali, bukan perceraian. Dalam hal ini Osborne beranggapan bahwa perceraian sama sekali tidak diperbolehkan, dan barangsiapa yang telah bercerai kemudian menikah lagi maka orang itu akan hidup dalam perzinahan. 

Jadi, bukan hanya ajaran Tuhan Yesus yang melarang praktik perceraian; akan tetapi sebenarnya Hukum Musa pun sebenarnya tidak mewajibkannya. Dalam hal ini, maksud Tuhan dalam ayat 9 bukan memperbolehkan perceraian terjadi dalam kasus perzinahan, akan tetapi justru Tuhan Yesus mengecam dan melarang keras praktik perceraian yang selama ini telah berlangsung. Dalam hal ini Yesus menghadapakan orang-orang Farisi dengan ini: “memperbolehkan perceraian bukan karena sang istri melakukan tindakan asusila (sebagaimana ditetapkan dalam Ulangan 24:1), tetapi menceraikan istri agar dapat mengambil perempuan lain untuk menjadi istri. Hal ini merupakan perpindahan dari satu perempuan ke perempuan lain, dan Yesus mengidentifikasi bahwa hal tersebut adalah perzinahan. 

Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya Tuhan Yesus tidak mengehndaki perceraian. Perceraian diijinkan Musa karena ketegaran hati bangsa Israel. Frase “kecuali karena zinah” menunjukkan seorang suami yang ingin menikah kembali. Konteks ini tidak hendak menyatakan bahwa Yesus menghendaki perceraian, melainkan karena seorang Suami yang ingin menikah kembali dengan perempuan lain sehingga ia menceraikan istrinya. Inilah yang dikecem oleh Tuhan Yesus pada waktu itu. 

D. Bukan Soal pernikahan tetapi Kerajaan Allah (Mat. 19:10-12)

Dialog dengan orang-orang farisi dilanjutkan dengan diskusi bersama murid-muridnya di rumah (Mrk. 10:10). Matius mencatat mencatat ketakjupan para murid terhadap ajaran Kristus (ay. 10), di mana Matius mengatakan: “jika demikian halnya hubungan antara suami dan istri, lebih baik jangan kawin”. 

Yesus pun menjawab: “11Akan tetapi Ia berkata kepada mereka: "Tidak semua orang dapat mengerti perkataan itu, hanya mereka yang dikaruniai saja.12 Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat mengerti hendaklah ia mengerti.” (Matt. 19:11-12 ITB). 

Yesus telah menetapkan di hadapan manusia sebuah standar yang sangat tinggi bagi pernikahan. Pada saat itu seorang perempuan dianggap sebagai barang yang bergerak, perempuan bekerja untuk laki-laki, untuk digunakan laki-laki dan disingkirkan saat tidak dibutuhkan lagi. Tetapi Yesus menunjukkan bahwa itu bukanlah rancangan Tuhan semula. Allah menciptakan perempuan untuk menjadi pasangan (partner) dan penolong laki-laki dan bermaksud untuk keduanya menyatu dalam hubungan yang eksklusif (amat dekat), sehingga menjadi satu daging. 

Inilah akhir dari ketegangan tentang problematika hukum perceraian. Di mana murid-murid Tuhan Yesus memberikan penegasan kepada jawaban Tuhan Yesus dalam ayat 9, bahwa kalau memang tidak bisa menjaga kesetiaan pernikahan dengan isteri seumur hidup, maka lebih baik jangan menikah. Tuhan Yesus pun akhirnya membenarkan pendapat murid-murid-Nya dan Yesus menegaskan bahwa memang ada yang Allah karuniakan untuk tidak menikah. Ada yang tidak menikah karena ketidakmampuan fisik (cacat) atau ada sebagian yang menahan diri untuk tidak kawin, setidaknya untuk suatu masa tertentu, karena tanggung jawab dan komitmen mereka pada pekerjaan Kerajaan Allah. 

“Janganlah menikah berdasarkan emosi, akan tetapi sebaiknya menikah berdasarkan kehendak Bapa yang di Surga”.

E. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas menunjukkan maksud perkataan Tuhan Yesus dalam Matius 19:9, tidak melegalkan praktik perceraian untuk dilakukan. Konteksnya adalah pada waktu itu, Tuhan Yesus sedang berbicara dengan orang Yahudi (baca: orang Farisi). Dalam hal ini Tuhan Yesus hanya mengutip perkataan Musa dalam Ulangan 24. Namun dalam ayat sebelumnya telah dijelaskan Tuhan Yesus bahwa hal itu diizinkan oleh Musa karena ‘ketegaran’ hati mereka. Sehingga sebenarnya perceraian tidak pernah diperintahkan Tuhan untuk dilakukan dengan alasan apapun. Hal ini terjadi harus dipahami dalam ‘kacamata’ diizinkan oleh Tuhan – meskipun Tuhan sendiri tidak menginginkannya (band. Tafsiran Kejadian 2 dalam konteks jauh). 

Ulangan 22 menunjukan bahwa seorang isteri yang kedapatan melakukan zinah pasti akan dilempari batu hingga mati. Sehingga tanpa bercerai pun, tetap suami-isteri tersebut tetap akan dipisahkan oleh maut. Perzinahan memiliki konsekuensi yang sangat berat dalam tradisi Israel, karena nyawalah yang menjadi taruhannya. Selain alasan di atas, Musa menerbitkan surat cerai secara tidak langsung hendak meminimalisir perceraian terjadi. Karena proses surat cerai keluar itu memakan waktu, sehingga memberikan kesempatan kepada suami untuk kembali introspeksi diri. Sehingga sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa frasa: “kecuali karena zinah” ayat 9 hanya dapat dilihat dari sudut pandang Yahudi, bukan Iman Kristen. Hal inilah yang menjadi alasan, mengapa Lukas dan Markus tidak mencatatnya dalam Injil yang ditulisnya.

Tuhan Yesus sebenarnya ingin menjelaskan sebuah pandangan yang baru kepada orang Yahudi tentang konsep pernikahan. Oleh sebab itu, orang Kristen harus kembali kepada pengajaran Tuhan Yesus tentang pernikahan, yakni: “apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh diceraikan manusia”. Dalam Matius 5 Tuhan Yesus telah memberikan standar yang lebih tinggi kepada pengikut-Nya. Sehingga kalau Musa membolehkan untuk bercerai atas alasan zinah, maka dalam doktrin orang Kristen tidak diperbolehkan perceraian dalam berbagai alasan. Karena standar kekristenan lebih tinggi dari pada standar Yahudi. Berdasarkan Kejadian 2, maka perceraian haram untuk dilakukan bagi orang Kristen, karena pernikahan itu berlaku seumur hidup. Selain itu, pernikahan juga menggambarkan relasi antara Tuhan Yesus dengan jemaat-Nya; merupakan relasi yang kudus dan bersifat kovenan.

Dalam iman Kristen tidak memperbolehkan praktik perceraian terjadi oleh karena orang Kristen bukanlah pengikut Rabi Syammai, Rabi Hillel, pengikut agama Yahudi, ataupun pengikut tradisi-tradisi kafir yang ada di sekitar Israel pada waktu itu, yang  tidak menghargai pernikahan dan kedudukan perempuan. Hanya ajaran Kristus yang menghormati pernikahan dan menghargai kaum perempuan, sehingga orang Kristen wajib untuk mengikutinya.

Apabila isteri kedapatan berzinah, marilah suami instrospeksi diri, dan mengambil langkah-langkah sesuai ajaran Kristus. Tidak boleh menceraikan. Apabila ada orang Kristen yang tahu bahwa dirinya tidak bisa menjalani pernikahan dengan isterinya seumur hidup, maka seperti yang dikatakan oleh murid-murid Tuhan Yesus, lebih untuk tidak menikah, karena pernikahan bukanlah sebuah permainan, melainkan sebuah covenan. “Inilah dia tulang dari tulangku, daging dari dagingku” dan “Apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan tidak boleh diceraikan oleh manusia”.

Daftar Pustaka

  • Barclay, William, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Injil Matius Pasal 11-28, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011). (Cetakan ke-11).
  • Bright, Hilda, An EasyEnglish Bible Version and Commentary: Matthew God’s News (RTF), soft copy (no page number).
  • De Heer, J. J., Tafsiran Alkitab Injil Matius, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003) (Cetakan ke-8).
  • Grudem, Wayne, Systematic Theology: An Introduction to Bible Doctrine, (Zondervan Publishing House, 5300 Patterson Avenue S.E., Grand Rapids, Michigan, USA, 1994).
  • Guthrie, Donald, Pengantar Perjanjian Baru Volume 1, (Surabaya: Momentum, 2010).
  • Henry, Matthew, Commentary of The Book Genesis (Bible Work), no page number (soft copy).
  • Henry, Matthew, Tafsiran Injil Matius 1-14, (Surabaya: Momentum, 2007).
  • Morris, Leon, The Gospel According to Matthew, (Michigan: GrandRapids, 1992).
  • Osborne, Grant. Exegetical Commentary On The New Testament: Matthew, (USA: Zondervan, 2005).
  • Tim Penulis, Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, (Yogyakarta: Kanisius, 2002).

Posting Komentar untuk "Keluarga Kristen | Bolehkah Orang Kristen Bercerai? (Matius 19:1-12)"